Beberapa teori belajar yang mendasari lahirnya model pembelajaran PAIKEM terutama teori belajar:
a. teori belajar Thorndike,
b. teori belajar Peaget,
c. teori belajar Robert Gagne, dan
d. teori belajar Gestalt?
Ada beberapa teori belajar yang menjadi
landasan model PAIKEM diantaranya adalah Teori belajar Behaviorisme
Thorndike, Teori belajar Kognitif Jean Piaget, Teori Pengolahan
Informasi Robert Gagne, dan Teori Belajar Gestalt. Berikut
akan dijelaskan beberapa teori yang melandasi model PAIKEM.
1.
Teori Belajar Behaviorisme Thorndike
Menurut teori
behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan prilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respons
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respons, oleh karena itu apa
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respons)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut. Dengan kata lain, behaviorisme merupakan salah
satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih reflex-refleks sedemikan
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Faktor lain
yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan
semakin kuat. Begitu pula bila respons dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respons pun akan semakin kuat. (Jauhar, 2011:9).
Teori belajar
yang dikembangkan Thorndike adalah teori koneksionisme. Dalam teori koneksionisme, Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil
penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing,
tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Seekor kucing yang lapar ditempatkan
dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan,
seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit
dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar
tadi.
Keadaan bagian dalam
sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi
stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh
makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar
dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada
di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil
menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle
box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya,
tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk
mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen
di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus
dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond
Theory” dan “S-R Psycology of learning” Selain itu, teori ini juga
terkenal dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada
panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Apabila diperhatikan secara seksama eksperimen Thorndike ini, maka akan
ditemukan 2 hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar;
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu
tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja
dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak
akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir
dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat
vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif
atau memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya
hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon
menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang
dicapai respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut. (Muhibinsyah, 1999 : 83-85).
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi
baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas
untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi
sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan
stimulasinya.
Dari eksperimen
yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
1.
Low of Effect, artinya bahwa
jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus –
Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang
dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus
– Respons.
2.
Low of Readiness, artinya bahwa
kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organism itu berasal dari
pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organism untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
3.
Law of Exercise, artinya bahwa
hubungan antara Stimulus dan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering
dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. (Jauhar,
2011:10).
Keunggulan-keunggulan
Teori Belajar Koneksionisme Thorndike :
a.
Teori ini sering juga
disebut dengan teori trial dan error dalam teori ini orang
bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya sehingga orang
akan terbiasa berpikir dan terbiasa mengembangkan pikirannya.
b.
Dengan sering melakukan pengulangan dalam
memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang
berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak
didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Kelemahan-kelemahan Teori Belajar
Koneksionisme Thorndike :
a.
Terlalu memandang
manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan.
Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa
tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial
and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
b.
Memandang belajar hanya
merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang
dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan
latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus-menerus.
c.
Karena belajar
berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandangnya sebagai suatu
yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang
pokok dalam belajar. (Purwanto, 2007:100).
2. Teori Belajar Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget
adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teori Perkembangan
Kognitif yang dikembangkannya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan
psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan,
yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan
dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada
kenyataan.
Dalam perspektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan
peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat tampak lebih nyata hamper
dalam setiap peristiwa belajar. Prilaku individu bukan semata-mata respons
terhadap yang ada melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang
diatur oleh otaknya.
Belajar adalah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah perseptual.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi
yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi
dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang
Nampak. Teori kognitif menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar
adalah aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Paul Suparno menggambarkan perkembangan kognitif menurut Jean Piaget
sebagai berikut:
Tahap
|
Umur
|
Ciri Pokok Perkembangan
|
Sensorimotor
|
0-2 tahun
|
Berdasarkan tindakan langkah demi langkah
|
Praoperasi
|
2-7 tahun
|
Penggunaan symbol/bahasa, Tanda, Konsep Intuitif
|
Operasi Konkret
|
8-11 tahun
|
Pakai aturan jelas/logis, Reversibel dan kekekalan
|
Operasi Formal
|
11 tahun ke atas
|
Hipotesis, Abstrak, Deduktif dan Induktif, Logis dan Probabilitas.
|
Perkembangan kognitif yang digambarkan Piaget merupakan proses adaftasi
intelektual. Adaptasi merupakan proses yang melibatkan skemata, asimilasi,
akomodasi, dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep,
gagasan. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan
struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses
pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah di miliki
oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam
situasi baru. Equilibration adalah
pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan
akomodasi. (Suprijono, 2009 : 22-23)
Piaget mengemukakan bahwa belajar akan lebih berhasil apabila
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik
hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang
ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan
tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta
didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif
Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan
orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang
sesuai dengan cara berfikir anak
b.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya
dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
e. Di dalam
kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dengan
teman-temannya dan saling berdiskusi. (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007:130)
3.
Teori Pengolahan Informasi Robert
Gagne
Teori
pemrosesan informasi (information processing theory) yaitu suatu teori
yang membahas mengenai proses individu dalam memahami, menyerap dan menggunakan
informasi yang diperoleh dari lingkungannya untuk menghadapi permasalahan dalam
hidupnya. Prinsip berfikir merupakan
proses kerja dari pengolahan berbagai informasi yang diperoleh sepanjang hidup
individu. Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa proses informasi
itu sebenarnya tidak terjadi begitu saja, ada beberapa tahapan yang harus
dilalui sampai pada akhirnya dapat menjadi sebuah output atau keluaran berupa informasi
yang berperan dalam berbagai hal di dalam kehidupan individu. Dan proses
tersebut memang akan selalu terjadi pada setiap individu sebagai makhluk Tuhan
yang memiliki otak sebagai organ tubuh yang berperan dalam hal ini.
Teori
pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan
pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Teori
ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat
diingat dalam waktu yang lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi
belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses didalam otak
melalui beberapa indera. Hal tersebut dilakukan agar proses pembelajaran yang
kita lakukan dapat berjalan dengan baik, dan proses informasi yang terjadi
menjadi lebih efektif. Teori pengolahan informasi merupakan pendekatan untuk
mempelajari perkembangan kognitif yang lahir dari tradisi eksperimental Amerika
dalam psikologi. Teoritikus informasi pengolahan mengusulkan agar fikiran
manusia disamakan seperti sebuah computer yang merupakan sebuah system yang
memproses informasi melalui penerapan aturan logika dan strategi. Seperti komputer,
fikiran memiliki kapasitas yang terbatas untuk jumlah dan sifat informasi yang
dapat diproses.
Lingkungan
eksternal menyediakan berbagai informasi penting yang bermanfaat bagi setiap
individu. Seorang individu secara aktif melakukan pengamatan, memahami, dan
menyimpan informasi-informasi penting dalam system syarafnya. Proses pengamatan
dilakukan melalui panca indera yaitu mata, hidung, telinga, kulit maupun lidah.
Informasi dapat disimpan dalam jangka pendek (short term memory) maupun
ingatan jangka panjang (long term memory).
Dari
sana dapat kita pahami bahwa informasi yang kita peroleh itu berasal dari
lingkungan eksternal dan dalam memprosesnya kita terlebih dahulu melakukan
pengamatan, walau kadang hal tersebut tidak kita sadari. Setelah itu barulah
panca indera kita menyampaikan hasil pengamatan itu dan dikirim ke otak kita
untuk selanjutnya dipahami maksudnya dan mungkin disimpan dalam ingatan kita
untuk kemudian akan kita pakai sewaktu-waktu.
Asumsi
yang mendasari teori ini yakni pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pengolahan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran. (Jauhar, 2011: 20-21).
Ada
dua model yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pengolahan informasi,
yaitu model penyimpanan (store/structure model) dan model tingkat
pemrosesan (level of processing). Model penyimpanan dikembangkan oleh
Atkinson dan Shiffrin, sedangkan model tingkat pemrosesan dikembangkan oleh
Craik dan Lockhart.
Model
pengolahan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson dan Shiffrin, kognisi
manusia dikonsepkan sebagai suatu system yang terdiri dari tiga bagian, yaitu
masukan (input), proses, dan keluaran (output). Informasi dari dunia sekitar
merupakan masukan bagi system. Stimulasi dari dunia sekitar ini memasuki
reseptor memori dalam bentuk penglihatan, suara, rasa, dan sebagainya.
Selanjutnya, input diproses dalam otak. Otak mengolah dan mentransformasikan
informasi dengan berbagai cara. Proses ini meliputi pengkodean ke dalam
bentuk-bentuk simbolis, membandingkan dengan informasi yang telah diketahui
sebelumnya, menyimpan dalam memory, dan mengambilnya bila diperlukan. Akhir
dari proses ini adalah keluaran, yaitu prilaku manusia, seperti berbicara,
menulis, interaksi social, dan sebagainya.
Model
tingkat pemrosesan dikembangkan oleh Craik dan Lockhart ini memiliki prinsip
dasar bahwa informasi yang diterima diolah dengan tingkatan yang berbeda.
Semakin dalam pengolahan yang dilakukan, semakin baik informasi tersebut
diingat. Pada tingkat pengolahan pertama akan diperoleh persepsi yang merupakan
kesadaran seketika akan lingkungan. Pada tingkat pengolahan berikutnya akan
diperoleh gambaran structural dari informasi. Pada tingkat pengolahan terdalam
akan diperoleh makna (meaning) dari informasi yang diterima.
Menurut
model tingkat pemrosesan, berbagai stimulus informasi diproses dalam berbagai
tingkat kedalaman secara bersamaan bergantung kepada karakternya. Semakin dalam
suatu informasi diolah, maka informasi tersebut akan semakin lama diingat.
Sebagai contoh, informasi yang mempunyai imaji visual yang kuat atau banyak
berasosiasi dengan pengetahuan yang telah ada akan diproses secara lebih dalam.
Demikian juga informasi yang sedang diamati akan lebih dalam diproses daripada
stimuli atau kejadian lain diluar pengamatan. Dengan kata lain, manusia akan
lebih mengingat hal-hal yang mempunyai arti bagi dirinya atau hal-hal yang
menjadi perhatiannya karena hal-hal tersebut diproses secara lebih mendalam
daripada stimuli yang tidak mempunyai arti atau tidak menjadi perhatiannya.
Manfaat
teori pengolahan informasi antara lain:
a.
Membantu terjadinya proses pembelajaran
sehingga individu mampu beradaptasi pada lingkungan yang selalu berubah.
b.
Menjadikan strategi pembelajaran dengan
menggunakan cara berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
c.
Kapabilitas belajar dapat disajikan secara
lengkap.
d.
Prinsip perbedaan individual terlayani.
Hambatan teori
pengolahan informasi antara lain:
a.
Tidak semua individu mampu melatih memori
secara maksimal
b.
Proses internal yang tidak dapat diamati secara
langsung.
c.
Tingkat kesulitan mengungkap kembali
informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan.
d.
Kemampuan otak tiap individu tidak sama.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Pemahaman dan penerapan yang benar mengenai pengolahan
informasi dalam hal ini di dunia pendidikan, maka diharapkan di masa yang
sekarang dan yang akan datang ada perubahan yang berarti dalam pendidikan
Negara kita, antara lain:
a.
Pendidikan yang bersifat open acces sehingga
siapa saja dapat menikmati proses pendidikan dengan beragam media teknologi
informasi yang ada;
b.
Terbentuknya kerjasama yang sinergis antar
lembaga penyelenggara pendidikan, lembaga penyelenggara industry media untuk
meningkatkan mutu pendidikan;
c.
Tersedia akses bersama terhadap sumber
informasi pengetahuan sehingga terwujud sharing knowledge;
d.
Terwujudnya masyarakat "ramah
media". (Jauhar, 2011:24-26)
4.
Teori Belajar Gestalt
Gestalt
berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai "bentuk
atau konfigurasi". Inti pandangan Gestalt yakni objek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Perintis teori Gestalt adalah Chr. Von Ehrenfelss, dengan karyanya "Uber
Gestaltqualitation" yang dicetuskan pada tahun 1890. Aliran ini menekankan
pentingnya keseluruhan yaitu sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya dan
timbul lebih dulu daripada bagian-bagiannya.
Pengikut-pengikut
aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi yang berlawanan dengan konsepsi
aliran-aliran lain. Bagi yang mengikuti aliran Gestalt, perkembangan itu adalah
proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer ialah keseluruhan,
sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder; bagian-bagiannya hanya mempunyai
arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam
hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain; keseluruhan ada
terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Contohnya, kalau kita
bertemu dengan seorang teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan
terlebih dahulu bukanlah bajunya yang baru melainkan teman kita itu secara
keseluruhan selanjutnya baru kemudian kita saksikan adanya hal-hal khusus
tertentu misalnya baju baru.
Aplikasi
teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain:
1.
Pengalaman tilikan (insight); bahwa
tilikan memegang peranan yang penting dalam prilaku. Dalam proses pembelajaran,
hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal
keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek atau peristiwa.
2.
Pembelajaran
yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsure-unsur
terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin
jelas makna hubungan suatu unsure, maka akan semakin efektif pulalah sesuatu
yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah,
khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternative pemecahannya.
Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan
logis dengan proses kehidupannya.
3.
Prilaku bertujuan (purposive behavior);
bahwa prilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan
stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai.
Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan
yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai
arah aktifitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4.
Prinsip ruang hidup (life space); bahwa prilaku
individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana dia berada. Oleh karena
itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan
kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5.
Transfer dalam belajar; yaitu pemindahan
pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap
prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk
kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena
itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. (Jauhar, 2011: 29).
Prinsip teori
Gestalt Dalam Proses Belajar:
a.
Belajar berdasarkan keseluruhan. Orang berusaha
menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran lainnya sebanyak mungkin mata
pelajaran yang dibuat lebih mudah daripada bagian-bagiannya.
b.
Belajar adalah suatu proses perkembangan. Seseorang baru
dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menerima bahan
pelajaran itu sebagai suatu organism yang berkembang, kesedian mempelajari
sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga
perkembangan karena lingkungan dan pengalaman.
c.
Siswa sebagai organism keseluruhan. Siswa belajar
tidak hanya intelektualnya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya.
d.
Terjadi transfer. Belajar pada
pokoknya yang terpenting pada penyesuaian pertama yaitu memperoleh respons yang
tepat. Mudah atau sukarnya problem itu adalah masalah pengamatan, bila dalam
suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul maka dapat dipindahkan pada
kemampuan lainnya.
e.
Belajar adalah reorganisasi pengalaman. Belajar itu
baru timbul bila seseorang menemui situasi/soal baru. Dalam menghadapi itu, ia
akan menggunakan pengalaman yang telah dimiliki.
f.
Belajar dengan insight. Insight suatu
saat dalam proses belajar dimana seseorang melihat pengertian mengenai sangkut
paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsure yang mengandung suatu problem.
g.
Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan
minat, keinginan, dan tujuan siswa. Hal ini terjadi bila banyak berhubungan dengan
apa yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah progresif,
siswa diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan
dicapai dan yakin akan manfaatnya.
h.
Belajar berlangsung terus-menerus. Siswa
memperoleh pengetahuan tidak hanya di sekolah tetapi juga diluar sekolah, dalam
pergaulan, memperoleh pengalaman-pengalaman tersendiri, karena itu sekolah
harus bekerja sama dengan orang tua dan masyarakat, agar semua turut serta
membantu perkembangan siswa secara harmonis. (Jauhar, 2011:33-34).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar