Jumat, 16 Juni 2017

Teori belajar yang mendasari lahirnya model pembelajaran PAIKEM :



         Beberapa teori belajar yang mendasari lahirnya model pembelajaran PAIKEM terutama teori belajar: 

a. teori belajar Thorndike, 
b. teori belajar Peaget, 
c. teori belajar Robert Gagne, dan 
d. teori belajar Gestalt?



Ada beberapa teori belajar yang menjadi landasan model PAIKEM diantaranya adalah Teori belajar Behaviorisme Thorndike, Teori belajar Kognitif Jean Piaget, Teori Pengolahan Informasi Robert Gagne, dan Teori Belajar Gestalt. Berikut akan dijelaskan beberapa teori yang melandasi model PAIKEM.
1.    Teori Belajar Behaviorisme Thorndike
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar  sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan prilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respons tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respons, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respons) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Dengan kata lain, behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih reflex-refleks sedemikan rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu pula bila respons dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respons pun akan semakin kuat. (Jauhar, 2011:9).
Teori belajar yang dikembangkan Thorndike adalah teori koneksionisme. Dalam teori koneksionisme, Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” Selain itu, teori ini juga terkenal dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila diperhatikan secara seksama eksperimen Thorndike ini, maka akan ditemukan 2 hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar;
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut. (Muhibinsyah, 1999 : 83-85).
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.      Low of Effect, artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus – Respons.
2.      Low of Readiness, artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organism itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organism untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3.      Law of Exercise, artinya bahwa hubungan antara Stimulus dan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. (Jauhar, 2011:10).
Keunggulan-keunggulan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike :
a.       Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error  dalam teori ini orang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya sehingga orang akan terbiasa berpikir dan terbiasa mengembangkan pikirannya.
b.      Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Kelemahan-kelemahan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike :
a.       Terlalu memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia. 
b.      Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus-menerus.
c.       Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar. (Purwanto, 2007:100).
2.      Teori Belajar Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teori Perkembangan Kognitif yang dikembangkannya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Dalam perspektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat tampak lebih nyata hamper dalam setiap peristiwa belajar. Prilaku individu bukan semata-mata respons terhadap yang ada melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
Belajar adalah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah perseptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang Nampak. Teori kognitif menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Paul Suparno menggambarkan perkembangan kognitif menurut Jean Piaget sebagai berikut:
Tahap
Umur
Ciri Pokok Perkembangan
Sensorimotor
0-2 tahun
Berdasarkan tindakan langkah demi langkah
Praoperasi
2-7 tahun
Penggunaan symbol/bahasa, Tanda, Konsep Intuitif
Operasi Konkret
8-11 tahun
Pakai aturan jelas/logis, Reversibel dan kekekalan
Operasi Formal
11 tahun ke atas
Hipotesis, Abstrak, Deduktif dan Induktif, Logis dan Probabilitas.
Perkembangan kognitif yang digambarkan Piaget merupakan proses adaftasi intelektual. Adaptasi merupakan proses yang melibatkan skemata, asimilasi, akomodasi, dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep, gagasan. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah di miliki oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. (Suprijono, 2009 : 22-23)
Piaget mengemukakan bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak
b.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.       Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.       Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi. (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007:130)
3.      Teori Pengolahan Informasi Robert Gagne
Teori pemrosesan informasi (information processing theory) yaitu suatu teori yang membahas mengenai proses individu dalam memahami, menyerap dan menggunakan informasi yang diperoleh dari lingkungannya untuk menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Prinsip  berfikir merupakan proses kerja dari pengolahan berbagai informasi yang diperoleh sepanjang hidup individu. Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa proses informasi itu sebenarnya tidak terjadi begitu saja, ada beberapa tahapan yang harus dilalui sampai pada akhirnya dapat menjadi sebuah output atau keluaran berupa informasi yang berperan dalam berbagai hal di dalam kehidupan individu. Dan proses tersebut memang akan selalu terjadi pada setiap individu sebagai makhluk Tuhan yang memiliki otak sebagai organ tubuh yang berperan dalam hal ini.
Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu yang lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses didalam otak melalui beberapa indera. Hal tersebut dilakukan agar proses pembelajaran yang kita lakukan dapat berjalan dengan baik, dan proses informasi yang terjadi menjadi lebih efektif. Teori pengolahan informasi merupakan pendekatan untuk mempelajari perkembangan kognitif yang lahir dari tradisi eksperimental Amerika dalam psikologi. Teoritikus informasi pengolahan mengusulkan agar fikiran manusia disamakan seperti sebuah computer yang merupakan sebuah system yang memproses informasi melalui penerapan aturan logika dan strategi. Seperti komputer, fikiran memiliki kapasitas yang terbatas untuk jumlah dan sifat informasi yang dapat diproses.
Lingkungan eksternal menyediakan berbagai informasi penting yang bermanfaat bagi setiap individu. Seorang individu secara aktif melakukan pengamatan, memahami, dan menyimpan informasi-informasi penting dalam system syarafnya. Proses pengamatan dilakukan melalui panca indera yaitu mata, hidung, telinga, kulit maupun lidah. Informasi dapat disimpan dalam jangka pendek (short term memory) maupun ingatan jangka panjang (long term memory).
Dari sana dapat kita pahami bahwa informasi yang kita peroleh itu berasal dari lingkungan eksternal dan dalam memprosesnya kita terlebih dahulu melakukan pengamatan, walau kadang hal tersebut tidak kita sadari. Setelah itu barulah panca indera kita menyampaikan hasil pengamatan itu dan dikirim ke otak kita untuk selanjutnya dipahami maksudnya dan mungkin disimpan dalam ingatan kita untuk kemudian akan kita pakai sewaktu-waktu.
Asumsi yang mendasari teori ini yakni pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pengolahan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. (Jauhar, 2011: 20-21).
Ada dua model yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pengolahan informasi, yaitu model penyimpanan (store/structure model) dan model tingkat pemrosesan (level of processing). Model penyimpanan dikembangkan oleh Atkinson dan Shiffrin, sedangkan model tingkat pemrosesan dikembangkan oleh Craik dan Lockhart.
Model pengolahan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson dan Shiffrin, kognisi manusia dikonsepkan sebagai suatu system yang terdiri dari tiga bagian, yaitu masukan (input), proses, dan keluaran (output). Informasi dari dunia sekitar merupakan masukan bagi system. Stimulasi dari dunia sekitar ini memasuki reseptor memori dalam bentuk penglihatan, suara, rasa, dan sebagainya. Selanjutnya, input diproses dalam otak. Otak mengolah dan mentransformasikan informasi dengan berbagai cara. Proses ini meliputi pengkodean ke dalam bentuk-bentuk simbolis, membandingkan dengan informasi yang telah diketahui sebelumnya, menyimpan dalam memory, dan mengambilnya bila diperlukan. Akhir dari proses ini adalah keluaran, yaitu prilaku manusia, seperti berbicara, menulis, interaksi social, dan sebagainya.
Model tingkat pemrosesan dikembangkan oleh Craik dan Lockhart ini memiliki prinsip dasar bahwa informasi yang diterima diolah dengan tingkatan yang berbeda. Semakin dalam pengolahan yang dilakukan, semakin baik informasi tersebut diingat. Pada tingkat pengolahan pertama akan diperoleh persepsi yang merupakan kesadaran seketika akan lingkungan. Pada tingkat pengolahan berikutnya akan diperoleh gambaran structural dari informasi. Pada tingkat pengolahan terdalam akan diperoleh makna (meaning) dari informasi yang diterima.
Menurut model tingkat pemrosesan, berbagai stimulus informasi diproses dalam berbagai tingkat kedalaman secara bersamaan bergantung kepada karakternya. Semakin dalam suatu informasi diolah, maka informasi tersebut akan semakin lama diingat. Sebagai contoh, informasi yang mempunyai imaji visual yang kuat atau banyak berasosiasi dengan pengetahuan yang telah ada akan diproses secara lebih dalam. Demikian juga informasi yang sedang diamati akan lebih dalam diproses daripada stimuli atau kejadian lain diluar pengamatan. Dengan kata lain, manusia akan lebih mengingat hal-hal yang mempunyai arti bagi dirinya atau hal-hal yang menjadi perhatiannya karena hal-hal tersebut diproses secara lebih mendalam daripada stimuli yang tidak mempunyai arti atau tidak menjadi perhatiannya.
Manfaat teori pengolahan informasi antara lain:
a.       Membantu terjadinya proses pembelajaran sehingga individu mampu beradaptasi pada lingkungan yang selalu berubah.
b.      Menjadikan strategi pembelajaran dengan menggunakan cara berfikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.
c.       Kapabilitas belajar dapat disajikan secara lengkap.
d.      Prinsip perbedaan individual terlayani.
Hambatan teori pengolahan informasi antara lain:
a.       Tidak semua individu mampu melatih memori secara maksimal
b.      Proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung.
c.       Tingkat kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan.
d.      Kemampuan otak tiap individu tidak sama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Pemahaman dan penerapan yang benar mengenai pengolahan informasi dalam hal ini di dunia pendidikan, maka diharapkan di masa yang sekarang dan yang akan datang ada perubahan yang berarti dalam pendidikan Negara kita, antara lain:
a.       Pendidikan yang bersifat open acces sehingga siapa saja dapat menikmati proses pendidikan dengan beragam media teknologi informasi yang ada;
b.      Terbentuknya kerjasama yang sinergis antar lembaga penyelenggara pendidikan, lembaga penyelenggara industry media untuk meningkatkan mutu pendidikan;
c.       Tersedia akses bersama terhadap sumber informasi pengetahuan sehingga terwujud sharing knowledge;
d.      Terwujudnya masyarakat "ramah media". (Jauhar, 2011:24-26)

4.      Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai "bentuk atau konfigurasi". Inti pandangan Gestalt yakni objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Perintis teori Gestalt adalah Chr. Von Ehrenfelss, dengan karyanya "Uber Gestaltqualitation" yang dicetuskan pada tahun 1890. Aliran ini menekankan pentingnya keseluruhan yaitu sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya dan timbul lebih dulu daripada bagian-bagiannya.
Pengikut-pengikut aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi yang berlawanan dengan konsepsi aliran-aliran lain. Bagi yang mengikuti aliran Gestalt, perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer ialah keseluruhan, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder; bagian-bagiannya hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam  hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain; keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Contohnya, kalau kita bertemu dengan seorang teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan terlebih dahulu bukanlah bajunya yang baru melainkan teman kita itu secara keseluruhan selanjutnya baru kemudian kita saksikan adanya hal-hal khusus tertentu misalnya baju baru.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain:
1.      Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam prilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek atau peristiwa.
2.      Pembelajaran  yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsure-unsur terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsure, maka akan semakin efektif pulalah sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternative pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3.      Prilaku bertujuan (purposive behavior); bahwa prilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktifitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4.      Prinsip ruang hidup (life space); bahwa prilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana dia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5.      Transfer dalam belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. (Jauhar, 2011: 29).
Prinsip teori Gestalt Dalam Proses Belajar:
a.       Belajar berdasarkan keseluruhan. Orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran lainnya sebanyak mungkin mata pelajaran yang dibuat lebih mudah daripada bagian-bagiannya.
b.      Belajar adalah suatu proses perkembangan. Seseorang baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menerima bahan pelajaran itu sebagai suatu organism yang berkembang, kesedian mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan karena lingkungan dan pengalaman.
c.       Siswa sebagai organism keseluruhan. Siswa belajar tidak hanya intelektualnya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya.
d.      Terjadi transfer. Belajar pada pokoknya yang terpenting pada penyesuaian pertama yaitu memperoleh respons yang tepat. Mudah atau sukarnya problem itu adalah masalah pengamatan, bila dalam suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul maka dapat dipindahkan pada kemampuan lainnya.
e.       Belajar adalah reorganisasi pengalaman. Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui situasi/soal baru. Dalam menghadapi itu, ia akan menggunakan pengalaman yang telah dimiliki.
f.       Belajar dengan insight. Insight suatu saat dalam proses belajar dimana seseorang melihat pengertian mengenai sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsure yang mengandung suatu problem.
g.      Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan siswa. Hal ini terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah progresif, siswa diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan yakin akan manfaatnya.
h.      Belajar berlangsung terus-menerus. Siswa memperoleh pengetahuan tidak hanya di sekolah tetapi juga diluar sekolah, dalam pergaulan, memperoleh pengalaman-pengalaman tersendiri, karena itu sekolah harus bekerja sama dengan orang tua dan masyarakat, agar semua turut serta membantu perkembangan siswa secara harmonis. (Jauhar, 2011:33-34).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku ; Yang Terlewatkan

  Tidak Mungkin dan Tidak Pernah Aku selalu melihatmu,Tapi kamu tidak. Aku selalu menatapmu,Tapi kamu tidak. Aku akan selalu ada untukm...