PENGANTAR QAWA’ID TAFSIR
(PENGERTIAN TAFSIR DAN QAIDAH, QAWA’ID AL-TAFSIR, SUMBER-SUMBER
QAWA’ID AL-TAFSIR)
Mata Kuliah Qawa’id Al-tafsir
Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. H. MAHYUDDIN BARNI, M.Ag
Prof. Dr. H. A. FAHMI ARIEF, M.Ag
OLEH:
Amelia Fitriani
Amelia Fitriani
NIM. 1502521453
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap Alhamdulillah puji syukur
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa selalu melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayahnya kepada kita semua. Shalawat dan salam atas junjungan jkita Nabi
besar Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat dan orang-orang yang mengikuti
langkah beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaiakan
makalah ini yang berjudul “Pengantar Qawa’id al-tafsir (Pengertian tafsir
dan qaidah, qawai’id al-tafsir, dan sumber-sumber qawa’id al-tafsir) “.
Penyusunan makalah
ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dalam rangka memperbanyak ilmu
pengetahuan dan juga sebagai salah satu syarat yang wajib di penuhi. Penyusun
sepenuhnya sangat menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya di sebabkan keterbatasan pengetahuan penyusun oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak demi kesempurnaan makalah ini yang akan datang.
Dalam proses
penyelesaian makalah ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
sebesar-besarnya kepada :
Bapak Prof. Dr. H. MAHYUDDIN BARNI, M.Ag dan Prof. Dr. H. A. FAHMI
ARIEF, MA selaku dosen mata kuliah Qawaid al Tafsir
Akhirnya penyusun
mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi diri
penyusun maupun bagi orang lain.
Banjarmasin, 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
|
………………………………………………………………
|
i
|
Kata
Pengantar
|
………………………………………………………………………
|
ii
|
Daftar isi
|
………………………………………………………………………
|
iii
|
BAB I
|
PENDAHULUAN…………………………………………………
|
1
|
BAB II
|
PEMBAHASAN ………………………………………………….
|
2
|
A. Definisi Qawa’id Al-tafsir ……. ……………………………….
|
2
|
|
B. Urgensi Kaidah Tafsir …...……..……………………………….
|
3
|
|
C. Tujuan Kaidah Tafsir …………………………………………….
|
4
|
|
D. Pandangan Ulama tentang Kaidah Tafsir ………………………..
|
6
|
|
E. Macam-macam Kaidah Tafsir
………………...............................
|
7
|
|
F. Sumber-sumber Kaidah Tafsir
|
9
|
|
BAB III
|
PENUTUP
……………………………………………………...
|
11
|
A. Simpulan
………………………………………………………….
|
11
|
|
DAFTAR PUSTAKA
|
BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an merupakan kitab suci dan
sumber ajaran islam yang pertama dan utama. Apabila dilakukan telaah dengan
seksama, maka akan di temukan bahwa al-qur’an mengandung keunikan-keunikan
makna yang tak terbatas. Kedudukan al-qur’an sebagai rujukan utama umat Islam
dalam berbagai aspek kehidupan dan
terbukanya interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya
usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Sejarah telah membuktikan
upaya-upaya untuk menafsirkan al-qur’an telah berlangsung sejak
generasi-generasi islam angkatan pertama hingga saat ini. Kitab suci al-qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Untuk memahami bahasa tersebut seseorang di tuntut untuk
memahami bahasa dimana kitab itu di turunkan dalam segala aspeknya, baik
perkembangan dan tata aturan yang di gunakan. Hal semacam ini tidak terlepas
dari usaha memahami al-qur’an secara menyeluruh.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah
penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir
dalam menafsirkan al-qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat di gunakan
secara fungsional oleh masyarakat islam dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Namun kaidah-kaidah penafsiran
disini tidak berperan sebagai alat ukur benar-salah terhadap suatu penafsiran
al-qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar
tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan.
Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang di
batasi oleh ruang dan waktu.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI QAWA’ID TAFSIR
Dalam bahasa
Arab, kaidah-kaidah tafsir dikenal dengan istilah Qawa’id al-tafsir. Qowaid
al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qawa’id dan kata
tafsir. Qawa’id, secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qai’dah
atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qa’idah sendiri, secara semantik,
berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip.[1]
Adapun Kata tafsir di ambil
dari kata fassara – yufassiru – tafsiran yang berarti keterangan atau
uraian.[2] Tafsir memiliki makna menjelaskan (al-idhah),
menerangkan (al-tibyan), menampakkan (al-izhar), menyibak atau
mengungkapkan (al-kasyf), dan merinci (al-tafshil).[3]
Secara istilah, beberapa ulama
mengemukakan redaksi yang berbeda-beda. Menurut Az-Zarkasyi, tafsir
adalah “ilmu yang di gunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab
Allah yang di turunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW serta menyimpulkan
kandungan hukum dan hikmahNya.”[4]
Sedangkan menurut Syaikh
Az-Zarqani, tafsir adalah “suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an
dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan
manusia.”[5] Tafsir
merupakan keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna al-Qur’an sebagai
wahyu Allah.
Dengan demikian dapat di katakan
bahwa qawa’id al-tafsir adalah dasar-dasar, pedoman-pedoman,
prinsif-prinsif atau kaidah-kaidah yang di gunakan agar isi atau kandungan
serta pesan-pesan al-Qur’an dapat di tangkap dan dipahami secara baik sesuai
tingkat kemampuan.[6]
Khalid Ustman al-Sabt dalam kitabnya Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa
Dirasatan menyimpulkan bahwa Qawa’id al-tafsir ialah rangkaian
aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan (menuntun) seseorang
(mufassir) untuk mengistinbatkan (menggali) makna-makna Al-Qur’an al-Azhim dan
mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.
Mengacu kepada definisi di atas
dapat di pahami bahwa yang dimaksud qawa’id al-tafsir (kaidah-kaidah
tafsir) ialah tata aturan yang harus dipedomani seseorang (mufassir) dalam
rangka menghasilkan penafsiran Al-Qur’an yang tepat, benar dan baik. Tanpa ada
pedoman yang baku, maka penafsiran al-qur’an tentu akan mengalami kegagalan dan
bahkan sangat mungkin menyesatkan mufassir itu sendiri dan bahkan masyarakat
luas.[7]
B.
URGENSI QAWA’ID AL-TAFSIR (Kaidah-kaidah Tafsir)
Ilmu kaidah
tafsir mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam mempelajari ilmu
tafsir. Bahkan, suatu keharusan bagi yang ingin mendalami kajian tafsir
untuk menguasai kaidah tafsir. Sebab, ilmu kaidah tafsir membahas pokok-pokok
dan garis besar hukum syariat yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dari situ
kemudian dikembangkan kepada hukum-hukum yang sifatnya juz’I (parsial).
Dalam menekuni bidang tafsir,
seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir.
Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an
diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul
fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam
menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.
Penjelasan-penjelasan Nabi tentang
arti ayat-ayat Al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja
karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau
tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya,
tetapi juga “karena Nabi saw. Sendiri tidak semua menafsirkan ayat Al-Qur’an”.[8] Sehingga
tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan,
setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Disamping itu,
mempelajari Al-Quran, yang merupakan obyek pembahasan ilmu kaidah tafsir,
sangat jelas memiliki urgensi yang sangat besar. Karena Al-Qur’an merupakan
pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
C.
TUJUAN QAWA’ID
AL-TAFSIR
Al-qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi
manusia agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang
benderang (QS 14:1), Maka untuk mencapai misi di atas, seorang mufasir membutuhkan
kaidah-kaidah tafsir dengan harapan dan tujuan:
1.
Pembaca tidak
kehilangan arah ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan
petunjuk Al Quran.
2.
Pembaca tidak perlu
lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya
justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran.
3.
Memudahkan seseorang
dalam menafsirkan Al Quran.[9]
Selain mengerti
kaidah-kaidah menafsirkan Al Quran, M. Quraish Shihab salah satu ahli tafsir
Indonesia berpendapat, bahwa untuk memenuhi persyaratan sebagai mufasir, khusus
bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak persyaratan.
Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pengetahuan tentang
bahasa Arab dalam berbagai bidangnya.
2.
Pengetahuan tentang
ilmu-ilmu Al Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul
fiqh.
3.
Pengetahuan tentang prinsip-prinsip
pokok keagamaan.
4.
Pengetahuan tentang
disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[10]
Bagi mereka yang tidak
memenuhi syarat-syarat diatas tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an. Penyebab pokok yang mengakibatkan
kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a. Dari segi mufassir (pelakunya) :
1.
Subyektifitas mufasir yang bermula dari perbedaan kemampuan,
orientasi, system berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang
di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2.
Tidak menguasai ilmu alat, seperti nahwu,
shorof, dan lain-lain.
b. Dari segi materi (sasarannya) :
1. Kurang memperhatikan siapa mukhattab ayat, untuk ini perlu di perhatikan
ayat-ayat sebelumnya.
2. Tidak memperhatikan siapa mutakallim yang dibicarakan ayat.[11]
D. PANDANGAN ULAMA TENTANG KAIDAH TAFSIR
Para ahli tafsir
berbeda pandangan dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an.
Berikut akan dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir.
Abd ar-Rahman ibn
Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an yang
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan
secara umum seperti hukum dan tauhid. Beberapa kaidah pokok diklasifikasikan
sebagai berikut :
1) Kaidah yang
terkait dengan kebahasaan
2)
Kaidah yang terkait dengan hukum
3)
Kaidah yang berhubungan dengan tauhid
4)
Kaidah yang berhubungan dengan pedoman hidup
Muhammad ibn Alawi
Al-Maliki Al-Hasani misalnya, berpandangan bahwa oleh karena Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa arab yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam surat
Yusuf ayat 2, “ Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan
bahasa arab, agar kamu memahami “. Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para
mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman
azas-azasnya, penghayatan terhadap redaksinya dan pengetahuan akan
rahasia-rahasia yang dikandungnya.[12]
Sementara itu menurut
M. Quraish Shihab
kaidah-kaidah kebahasaan saja belum cukup. Diperlukan kaidah lain untuk
mendukung kaidah tersebut. Yaitu:
1. Ketentuan-ketentuan yang harus di perhatikan dalam menafsirkan Al-qur’an.
2. Sistematika yang hendaknya di tempuh dalam menguraikan penafsiran.
3. Patokan-patokan khusus yang membantu dalam memahami ayat-ayat al-qur’an
baik dari ilmu bantu seperti bahasa dan usul fiqih maupun yang di tarik
langsung dari penggunaan al-qur’an.[13]
Karenanya sikap para
ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga beragam. Ada yang
memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang
mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat
hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai
suatu prosedur kerja seorang mufasir saja.
Meskipun demikian
keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama tetap penting.
Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam
melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut juga
bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses
penafsiran.
E.
MACAM-MACAM KAIDAH TAFSIR
Dalam penafsiran Al-Qur’an, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang
berlaku, yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i, dan kaidah kebahasaan. Berikut di
jelaskan secara singkat penjelasan mengenai ketiga macam kaidah penafsiran
tersebut.
1.
Kaidah Dasar Penafsiran
Kaidah dasar penafsiran yang dimaksud disini adalah mencakup
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan Hadist,
penafsiran al-Qur’an dengan pendapat sahabat, penafsiran al-Qur’an dengan
pendapat tabi’in.
a.
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an harus melihat dulu
ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan, mengumpulkannya dalam sebuah topic dan
merujuk-silangkan antara ayat-ayat tersebut untuk di cari penjelasannya pada
ayat-ayat yang di pandang terlalu singkat, masih bersifat global maupun yang
bersifat mutlak dan sebagainya.[14]
Al-Qur’an dilihat dari segi ada atau tidaknya keterangan tentang
dirinya, dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Kelompok ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan dirinya sendiri
sehingga tidak lagi membutuhkan keterangan baik dari ayat yang sama maupun ayat
yang berbeda.
2.
Kelompok ayat-ayat yang tidak menjelaskan dirinya sendiri sehingga
memerlukan penjelasan. Adakalanya penjelasannya di jumpai pada ayat yang
bersamaan atau ayat yang berbeda, bahkan ada juga yang penjelasannya diperoleh
dari al-sunnah mengingat al-sunnah itu memang fungsinya anatara lain untuk
menafsirkan al-Kitab.[15]
3.
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
b.
Penafsiran al-Qur’an dengan Hadist Nabi.
Jika penafsiran al-quran dengan al-qur’an tidak ditemukan, maka
penafsiran al-qurán dengan sabda Nabi bisa dilakukan. Penafsiran hadist
terhadap ayat-ayat al-quran itu dapat berbentuk menjelaskan kemujmalan ayat,
menerangkan kemusykilannya, mengkhusukan keumumannya dan menentukan
kemutlakannnya.[16]
Disamping itu, para ulama sepakat bahwa di anatara fungsi utama hadist Nabi adalah sebagai
penjelas Al-Qur’an (mubayyin).[17]
c.
Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Para sahabat termasuk orang-orang yang mengetahui hal ihwal
turunnya al-Qur’an, karena itu mereka di anggap memiliki kemampuan untuk
memahami al-Qur’an secara tepat dan
benar. Diantara tokoh-tokoh dan ulama menurut Ibn Taimiyah ialah Khulafaur
Rasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan lain-lain.
Adapun instrument yang di pergunakan sahabat dalam menafsirkan
al-Qur’an adalah mencakup pengetahuan tentang bahasa Arab, pengetahuan tentang
yahudi dan nasrani di Arab ketika itu, dan kejeniusan yang ada pada mereka.
d.
Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in
Sebagian pendapat mengatakan bahwa penafsiran dengan pendapat
tabi’in termasuk penafsiran dengan bi al ra’y. Alasan mereka, kedudukan
tabi’in tidak lebih dari seorang mufassir (selain Nabi dan sahabat).
Mereka menafsirkan al-Qur’an sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan hadist Nabi.
2.
Kaidah Syar’i
Adapun yang termasuk kaidah-kaidah Syar’i adalah: manthuq dan
mafhum, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mufashshal, dan sebagainya yang
biasanya dikenal oleh ulama-ulama ushul.
3.
Kaidah kebahasaan
Sebagaimana halnya kaidah syar’i, kaidah kebahasaan merupakan alternative untuk di jadikan sumber
penafsiran al-Qur’an. Jika ayat al-Qur’an, hadist, pendapat sahabat, pendapat
tabi’in tidak ditemukan. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup kaidah ism dan
fi’il, kaidah amar dan nahyi, kaidah istifham, kaidah dhamir, kaidah mufrad dan
jama’, kaidah mudzakkar dan mu’annas, kaidah taqdim dan ta’khir, kaidah wujuh
dan nadzhdir, kaidah syarth dan jawab, dan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya.[18]
F.
SUMBER-SUMBER KAIDAH TAFSIR
Sumber-sumber yang dipakai dalam ilmu ini adalah :
1.
Al-Qur’an Al-Karim. Hal
tersebut dapat dilihat dari permasalahan yang dibahas di dalamnya, disamping
itu ditemukan pula kaidah-kaidah yang diadopsi dari ilmu Qira’ah
2.
As-Sunnah An-Nabawiyah.
3.
Beberapa atsar
dari sahabat yang membahas tentang tafsir. Dari atsar tersebut dapat
diketahui dasar-dasar kaidah yang digunakan oleh mereka untuk memahami makna
Al-Quran.
4.
Ushul Fiqh.
Karena pada hakikatnya ilmu ushul fiqhi adalah penelitian tentang keumuman
dalil-dalil, sehingga menjadi pijakan bagi para mujtahid dan memudahkan bagi
para thalibul ilmi untuk mengaksesnya.
5.
Ilmu Linguistik. Karena
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebahasaan akan mengarahkan untuk memahami
struktur bahasa yang digunakan di dalam Al-Quran dan hadits secara benar, dan
pada hakikatnya ilmu ini adalah fiqhi At Ta’abbud dengan
lafadz-lafadz syariah yang menunjukkan kepada maknanya bagaimana digunakan. Bahkan
Imam Asy-Syathibi berpendapat bahwa penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab sangat
penting dalam menguasai dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh. [19]
6.
Kitab-kitab ulumul Quran dan beberapa kitab Tafsir.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Qawa’id al-tafsir (kaidah-kaidah tafsir) ialah tata aturan yang
harus dipedomani seseorang (mufassir) dalam rangka menghasilkan penafsiran
Al-Qur’an yang tepat, benar dan baik. Tanpa
ada pedoman yang baku, maka penafsiran al-qur’an tentu akan mengalami kegagalan
dan bahkan sangat mungkin menyesatkan mufassir itu sendiri dan bahkan
masyarakat luas.
Dalam menekuni bidang tafsir,
seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir.
Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an
diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul
fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam
menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.
Tujuan dari adanya kaidah-Kaidah Tafsir,
pertama adalah agar pembaca tidak kehilangan arah ketika menafsirkan
ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan petunjuk Al Quran. Kedua, Pembaca tidak perlu
lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya
justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran. Ketiga, Memudahkan seseorang
dalam menafsirkan Al Quran.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang
berlaku, yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i, dan kaidah kebahasaan. Berikut di
jelaskan secara singkat penjelasan mengenai ketiga macam kaidah penafsiran
tersebut.
Sedangkan Sumber-sumber yang dipakai dalam kaidah tafsir yaitu :
a.
Al-Qur’an Al-Karim.
b.
As-Sunnah An-Nabawiyah.
c.
Beberapa atsar
dari sahabat yang membahas tentang tafsir.
d.
Ushul Fiqh.
e. Ilmu
Linguistik.
f. Kitab-kitab ulumul Quran dan beberapa kitab Tafsir
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahabiy, Muhammad Husain.
Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Dar Al-Kutub Al-Hadisah, Mesir, 1961.
Amin Suma, Muhammad. Ulumul
Qur’an. Jakarta, PT RajaGrafindo,
2013.
Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir. Bandung, CV Pustaka Setia,
2005.
Bukhori, Didin
Saefudin. Pedoman memahami Kandungan
Al-qur’an. Bogor, Granada Sarana Pustaka, 2005.
Ibn ‘Alawi
Al-Maliki Al-Hasani, Muhammad. Zubdah al-Itqan fii Ulum al-qur’an (terjemahan),
Bandung, Pustaka Setia, 1999.
Khalid Utsman
Al-Sabt, Qawaid At-Tafsir Jam’an Wa Dirasah, Mesir: Daar Ibnu Affan.
Munawwir, Ahmad
Warson, Kamus Al-Munawwir. Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.
Shihab, M. Quraish . Membumikan Al-qur’an Jilid . Jakarta, Lentera Hati, 2010
Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta, Sukses Offset, 2009.
[1] Dr.
Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 239
[2]
Kamus Munawwir h. 1055
[3]
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2013), h. 309
[4] Dr.
Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h.
143
[5]
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2013), h. 311
[6] Dr.
Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 239
[7] Prof.
Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), h. 418
[8]
Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Dar
Al-Kutub Al-Hadisah, Mesir, 1961) jilid 1, h. 53
[11]
Didin Saefudin Bukhori, Pedoman memahami Kandungan Al-qur’an, (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005) h. 190
[12]
Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani,, Zubdah al-Itqan fii Ulum al-qur’an
(terjemahan), (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 240
[13] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati,
2010), h. 640
[15] Prof.
Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), h. 420
[17] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Ulumul Qur’an,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 420
[18] Dr.
Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 250-253
[19]
Khalid Utsman Al-Sabt, Qawaid At-Tafsir Jam’an Wa Dirasah, (Mesir: Daar
Ibnu Affan), h
terimakasih kak atas makalahnya sangat membantu saya dalam pembuatan tugas
BalasHapus