Minggu, 25 Desember 2016

Makalah Qawaid Tafsir


PENGANTAR QAWA’ID TAFSIR
(PENGERTIAN TAFSIR DAN QAIDAH, QAWA’ID AL-TAFSIR, SUMBER-SUMBER QAWA’ID AL-TAFSIR)


Mata Kuliah Qawa’id Al-tafsir


Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. H. MAHYUDDIN BARNI, M.Ag
Prof. Dr. H. A. FAHMI ARIEF, M.Ag



OLEH:

Amelia Fitriani
                                                        NIM. 1502521453

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
 PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015




KATA PENGANTAR

      Dengan mengucap Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa selalu melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Shalawat dan salam atas junjungan jkita Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat dan orang-orang yang mengikuti langkah beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaiakan makalah ini yang berjudul “Pengantar Qawa’id al-tafsir (Pengertian tafsir dan qaidah, qawai’id al-tafsir, dan sumber-sumber qawa’id al-tafsir) “.
            Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dalam rangka memperbanyak ilmu pengetahuan dan juga sebagai salah satu syarat yang wajib di penuhi. Penyusun sepenuhnya sangat menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya di sebabkan keterbatasan pengetahuan penyusun oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini yang akan datang.
            Dalam proses penyelesaian makalah ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
Bapak Prof. Dr. H. MAHYUDDIN BARNI, M.Ag dan Prof. Dr. H. A. FAHMI ARIEF, MA selaku dosen mata kuliah Qawaid al Tafsir
            Akhirnya penyusun mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi diri penyusun maupun bagi orang lain.
                                                                                    Banjarmasin,                          2015


                                                                                                          Penyusun
DAFTAR ISI
                                                                                   

Halaman Judul
………………………………………………………………
i
Kata Pengantar
………………………………………………………………………
ii
Daftar isi
………………………………………………………………………
iii



BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………
1
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………….
2

 A. Definisi Qawa’id Al-tafsir ……. ……………………………….
2

 B. Urgensi Kaidah Tafsir  …...……..……………………………….
3

 C. Tujuan Kaidah Tafsir …………………………………………….
4

 D. Pandangan Ulama tentang Kaidah Tafsir ………………………..
6

 E. Macam-macam Kaidah Tafsir ………………...............................
7

 F. Sumber-sumber Kaidah Tafsir
9



BAB III
PENUTUP ……………………………………………………...
11

A. Simpulan ………………………………………………………….
11





DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

Al-qur’an merupakan kitab suci dan sumber ajaran islam yang pertama dan utama. Apabila dilakukan telaah dengan seksama, maka akan di temukan bahwa al-qur’an mengandung keunikan-keunikan makna yang tak terbatas. Kedudukan al-qur’an sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan  dan terbukanya interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Sejarah telah membuktikan upaya-upaya untuk menafsirkan al-qur’an telah berlangsung sejak generasi-generasi islam angkatan pertama hingga saat ini. Kitab suci al-qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Untuk memahami  bahasa tersebut seseorang di tuntut untuk memahami bahasa dimana kitab itu di turunkan dalam segala aspeknya, baik perkembangan dan tata aturan yang di gunakan. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami al-qur’an secara menyeluruh.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat di gunakan secara fungsional oleh masyarakat islam dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Namun kaidah-kaidah penafsiran disini tidak berperan sebagai alat ukur benar-salah terhadap suatu penafsiran al-qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang di batasi oleh ruang dan waktu.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      DEFINISI QAWA’ID TAFSIR
Dalam bahasa Arab, kaidah-kaidah tafsir dikenal dengan istilah Qawa’id al-tafsir. Qowaid al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qawa’id dan kata tafsir. Qawa’id, secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qai’dah atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qa’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip.[1]
Adapun Kata tafsir di ambil dari kata fassara – yufassiru – tafsiran yang berarti keterangan atau uraian.[2]  Tafsir memiliki makna menjelaskan (al-idhah), menerangkan (al-tibyan), menampakkan (al-izhar), menyibak atau mengungkapkan (al-kasyf), dan merinci (al-tafshil).[3]
Secara istilah, beberapa ulama mengemukakan redaksi yang berbeda-beda. Menurut Az-Zarkasyi, tafsir adalah “ilmu yang di gunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang di turunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW serta menyimpulkan kandungan hukum dan hikmahNya.”[4] Sedangkan menurut  Syaikh Az-Zarqani, tafsir adalah “suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusia.”[5] Tafsir merupakan keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa qawa’id al-tafsir adalah dasar-dasar, pedoman-pedoman, prinsif-prinsif atau kaidah-kaidah yang di gunakan agar isi atau kandungan serta pesan-pesan al-Qur’an dapat di tangkap dan dipahami secara baik sesuai tingkat kemampuan.[6] Khalid Ustman al-Sabt dalam kitabnya Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan menyimpulkan bahwa Qawa’id al-tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan (menuntun) seseorang (mufassir) untuk mengistinbatkan (menggali) makna-makna Al-Qur’an al-Azhim dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.
Mengacu kepada definisi di atas dapat di pahami bahwa yang dimaksud qawa’id al-tafsir (kaidah-kaidah tafsir) ialah tata aturan yang harus dipedomani seseorang (mufassir) dalam rangka menghasilkan penafsiran Al-Qur’an yang tepat, benar dan baik. Tanpa ada pedoman yang baku, maka penafsiran al-qur’an tentu akan mengalami kegagalan dan bahkan sangat mungkin menyesatkan mufassir itu sendiri dan bahkan masyarakat luas.[7]
B.       URGENSI QAWA’ID AL-TAFSIR (Kaidah-kaidah Tafsir)
Ilmu kaidah tafsir mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam mempelajari ilmu tafsir. Bahkan, suatu keharusan bagi yang ingin mendalami  kajian tafsir untuk menguasai kaidah tafsir. Sebab, ilmu kaidah tafsir membahas pokok-pokok dan garis besar hukum syariat yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dari situ kemudian dikembangkan kepada hukum-hukum yang sifatnya juz’I (parsial).
Dalam menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir  dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.  
Penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya, tetapi juga “karena Nabi saw. Sendiri tidak semua menafsirkan ayat Al-Qur’an”.[8] Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Disamping itu, mempelajari Al-Quran, yang merupakan obyek pembahasan ilmu kaidah tafsir, sangat jelas memiliki urgensi yang sangat besar. Karena Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
C.      TUJUAN QAWA’ID AL-TAFSIR
Al-qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1), Maka untuk mencapai misi di atas, seorang mufasir membutuhkan kaidah-kaidah tafsir dengan harapan dan tujuan:
1.      Pembaca tidak kehilangan arah ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan petunjuk Al Quran.
2.      Pembaca tidak perlu lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran.
3.      Memudahkan seseorang dalam menafsirkan Al Quran.[9]
Selain mengerti kaidah-kaidah menafsirkan Al Quran, M. Quraish Shihab salah satu ahli tafsir Indonesia berpendapat, bahwa untuk memenuhi persyaratan sebagai mufasir, khusus bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak persyaratan. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya.
2.      Pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan  ushul fiqh.
3.      Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan.
4.      Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[10]
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an. Penyebab pokok yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a.       Dari segi mufassir (pelakunya) :
1.    Subyektifitas mufasir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, system berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2.    Tidak menguasai ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.
b.      Dari segi materi (sasarannya) :
1.      Kurang memperhatikan siapa mukhattab ayat, untuk ini perlu di perhatikan ayat-ayat sebelumnya.
2.      Tidak memperhatikan siapa mutakallim yang dibicarakan ayat.[11]

D.      PANDANGAN ULAMA TENTANG KAIDAH TAFSIR
Para ahli tafsir berbeda pandangan dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Berikut akan dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir.
Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid. Beberapa kaidah pokok diklasifikasikan sebagai berikut :
1)      Kaidah yang terkait dengan kebahasaan                  
2)      Kaidah yang terkait dengan hukum
3)      Kaidah yang berhubungan dengan tauhid
4)      Kaidah yang berhubungan dengan pedoman hidup
Muhammad ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasani misalnya, berpandangan bahwa oleh karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf ayat 2, “ Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan bahasa arab, agar kamu memahami “. Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman azas-azasnya, penghayatan terhadap redaksinya dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang dikandungnya.[12]
Sementara itu menurut M. Quraish Shihab kaidah-kaidah kebahasaan saja belum cukup. Diperlukan kaidah lain untuk mendukung kaidah tersebut. Yaitu: 
1.      Ketentuan-ketentuan yang harus di perhatikan dalam menafsirkan Al-qur’an.
2.      Sistematika yang hendaknya di tempuh dalam menguraikan penafsiran.
3.      Patokan-patokan khusus yang membantu dalam memahami ayat-ayat al-qur’an baik dari ilmu bantu seperti bahasa dan usul fiqih maupun yang di tarik langsung dari penggunaan al-qur’an.[13]
Karenanya sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur kerja seorang mufasir saja.
Meskipun demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama tetap penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut juga bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses penafsiran.
E.       MACAM-MACAM KAIDAH TAFSIR
Dalam penafsiran Al-Qur’an, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang berlaku, yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i, dan kaidah kebahasaan. Berikut di jelaskan secara singkat penjelasan mengenai ketiga macam kaidah penafsiran tersebut.
1.        Kaidah Dasar Penafsiran
Kaidah dasar penafsiran yang dimaksud disini adalah mencakup penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan Hadist, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat sahabat, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.
a.       Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an harus melihat dulu ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan, mengumpulkannya dalam sebuah topic dan merujuk-silangkan antara ayat-ayat tersebut untuk di cari penjelasannya pada ayat-ayat yang di pandang terlalu singkat, masih bersifat global maupun yang bersifat mutlak dan sebagainya.[14]
Al-Qur’an dilihat dari segi ada atau tidaknya keterangan tentang dirinya, dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1.      Kelompok ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan dirinya sendiri sehingga tidak lagi membutuhkan keterangan baik dari ayat yang sama maupun ayat yang berbeda.
2.      Kelompok ayat-ayat yang tidak menjelaskan dirinya sendiri sehingga memerlukan penjelasan. Adakalanya penjelasannya di jumpai pada ayat yang bersamaan atau ayat yang berbeda, bahkan ada juga yang penjelasannya diperoleh dari al-sunnah mengingat al-sunnah itu memang fungsinya anatara lain untuk menafsirkan al-Kitab.[15]
3.      Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
b.      Penafsiran al-Qur’an dengan Hadist Nabi.
Jika penafsiran al-quran dengan al-qur’an tidak ditemukan, maka penafsiran al-qurán dengan sabda Nabi bisa dilakukan. Penafsiran hadist terhadap ayat-ayat al-quran itu dapat berbentuk menjelaskan kemujmalan ayat, menerangkan kemusykilannya, mengkhusukan keumumannya dan menentukan kemutlakannnya.[16] Disamping itu, para ulama sepakat bahwa di anatara  fungsi utama hadist Nabi adalah sebagai penjelas Al-Qur’an (mubayyin).[17]
c.       Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Para sahabat termasuk orang-orang yang mengetahui hal ihwal turunnya al-Qur’an, karena itu mereka di anggap memiliki kemampuan untuk memahami al-Qur’an secara  tepat dan benar. Diantara tokoh-tokoh dan ulama menurut Ibn Taimiyah ialah Khulafaur Rasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan lain-lain.
Adapun instrument yang di pergunakan sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah mencakup pengetahuan tentang bahasa Arab, pengetahuan tentang yahudi dan nasrani di Arab ketika itu, dan kejeniusan yang ada pada mereka.
d.      Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in
Sebagian pendapat mengatakan bahwa penafsiran dengan pendapat tabi’in termasuk penafsiran dengan bi al ra’y. Alasan mereka, kedudukan tabi’in tidak lebih dari seorang mufassir (selain Nabi dan sahabat). Mereka  menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan hadist Nabi.
2.        Kaidah Syar’i
Adapun yang termasuk kaidah-kaidah Syar’i adalah: manthuq dan mafhum, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mufashshal, dan sebagainya yang biasanya dikenal oleh ulama-ulama ushul.
3.        Kaidah kebahasaan
Sebagaimana halnya kaidah syar’i, kaidah kebahasaan  merupakan alternative untuk di jadikan sumber penafsiran al-Qur’an. Jika ayat al-Qur’an, hadist, pendapat sahabat, pendapat tabi’in tidak ditemukan. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup kaidah ism dan fi’il, kaidah amar dan nahyi, kaidah istifham, kaidah dhamir, kaidah mufrad dan jama’, kaidah mudzakkar dan mu’annas, kaidah taqdim dan ta’khir, kaidah wujuh dan nadzhdir, kaidah syarth dan jawab, dan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya.[18]

F.       SUMBER-SUMBER KAIDAH TAFSIR
Sumber-sumber yang dipakai dalam ilmu ini adalah :
1.      Al-Qur’an Al-Karim. Hal tersebut dapat dilihat dari permasalahan yang dibahas di dalamnya, disamping itu ditemukan pula kaidah-kaidah yang diadopsi dari ilmu Qira’ah
2.      As-Sunnah An-Nabawiyah.
3.      Beberapa atsar dari sahabat yang membahas tentang tafsir. Dari atsar tersebut dapat diketahui dasar-dasar kaidah yang digunakan oleh mereka untuk memahami makna Al-Quran.
4.      Ushul Fiqh. Karena pada hakikatnya ilmu ushul fiqhi adalah penelitian tentang keumuman dalil-dalil, sehingga menjadi pijakan bagi para mujtahid dan memudahkan bagi para thalibul ilmi untuk mengaksesnya.
5.      Ilmu Linguistik. Karena ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebahasaan akan mengarahkan untuk memahami struktur bahasa yang digunakan di dalam Al-Quran dan hadits secara benar, dan pada hakikatnya ilmu ini adalah fiqhi At Ta’abbud dengan lafadz-lafadz syariah yang menunjukkan kepada maknanya bagaimana digunakan. Bahkan Imam Asy-Syathibi berpendapat bahwa penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab sangat penting dalam menguasai dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh. [19]
6.      Kitab-kitab ulumul Quran dan beberapa kitab Tafsir.



BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Qawa’id al-tafsir (kaidah-kaidah tafsir) ialah tata aturan yang harus dipedomani seseorang (mufassir) dalam rangka menghasilkan penafsiran Al-Qur’an yang tepat, benar dan baik. Tanpa ada pedoman yang baku, maka penafsiran al-qur’an tentu akan mengalami kegagalan dan bahkan sangat mungkin menyesatkan mufassir itu sendiri dan bahkan masyarakat luas.
Dalam menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir  dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.  
Tujuan dari adanya kaidah-Kaidah Tafsir, pertama adalah agar pembaca tidak kehilangan arah ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan petunjuk Al Quran. Kedua, Pembaca tidak perlu lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran. Ketiga, Memudahkan seseorang dalam menafsirkan Al Quran.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang berlaku, yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i, dan kaidah kebahasaan. Berikut di jelaskan secara singkat penjelasan mengenai ketiga macam kaidah penafsiran tersebut.
Sedangkan Sumber-sumber yang dipakai dalam kaidah tafsir yaitu :
a.       Al-Qur’an Al-Karim.
b.      As-Sunnah An-Nabawiyah.
c.       Beberapa atsar dari sahabat yang membahas tentang tafsir.
d.      Ushul Fiqh.
e.       Ilmu Linguistik.
f.       Kitab-kitab ulumul Quran dan beberapa kitab Tafsir



DAFTAR PUSTAKA

Al-Zahabiy, Muhammad Husain.  Al-Tafsir wa Al-Mufassirun.  Dar Al-Kutub Al-Hadisah, Mesir, 1961.
Amin Suma, Muhammad.  Ulumul Qur’an.  Jakarta, PT RajaGrafindo, 2013.
Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir. Bandung, CV Pustaka Setia, 2005.
Bukhori, Didin Saefudin.  Pedoman memahami Kandungan Al-qur’an. Bogor, Granada Sarana Pustaka, 2005.
Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Muhammad. Zubdah al-Itqan fii Ulum al-qur’an (terjemahan), Bandung, Pustaka Setia, 1999.
Khalid Utsman Al-Sabt, Qawaid At-Tafsir Jam’an Wa Dirasah, Mesir: Daar Ibnu Affan.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir. Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.
Shihab, M. Quraish . Membumikan Al-qur’an Jilid .  Jakarta, Lentera Hati, 2010
Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta, Sukses Offset, 2009.




[1] Dr. Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 239
[2] Kamus Munawwir h. 1055
[3] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), h. 309
[4] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 143
[5] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), h. 311
[6] Dr. Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 239
[7] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 418
[8] Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Dar Al-Kutub Al-Hadisah, Mesir, 1961) jilid 1, h. 53
[9] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an  (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 27
[10] Ibid h. 118
[11] Didin Saefudin Bukhori, Pedoman memahami Kandungan Al-qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005) h. 190
[12] Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani,, Zubdah al-Itqan fii Ulum al-qur’an (terjemahan), (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 240
[13] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 640
[14] Dr. Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 247
[15] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 420
[16] Dr. Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 248
[17] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 420

[18] Dr. Usman, M.Ag, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 250-253

[19] Khalid Utsman Al-Sabt, Qawaid At-Tafsir Jam’an Wa Dirasah, (Mesir: Daar Ibnu Affan), h

1 komentar:

  1. terimakasih kak atas makalahnya sangat membantu saya dalam pembuatan tugas

    BalasHapus

Aku ; Yang Terlewatkan

  Tidak Mungkin dan Tidak Pernah Aku selalu melihatmu,Tapi kamu tidak. Aku selalu menatapmu,Tapi kamu tidak. Aku akan selalu ada untukm...