Kesempatan
Aku memainkan kaki di bawah birunya air laut. Sudah sejak sepuluh
menit yang lalu aku duduk di dermaga ini bersamanya. Semburat jingga mewarnai
langit sore di depan kami. Aku menatap langit di depanku yang seolah menyatu
dengan laut, menghirup udara yang mulai terasa sulit masuk ke paru-paruku.
Sepuluh menit, duduk berdampingan di ujung dermaga ini, tak ada satupun
diantara kami yang membuka suara. Tiba-tiba, hatiku diliputi rasa sesal kenapa
memutuskan datang ke tempat ini. Harusnya aku tidak datang ke tempat ini.
Harusnya tempat ini adalah tempat yang terlarang. Terlarang untuk ku kunjungi.
“Apa kabar, Dis?”
Serombongan camar terbang rendah menuju bebatuan karang yang tiada
henti di jilati ombak. Aku menghela nafas, hingga akhirnya berhasil menarik bibirku
membentuk senyum.
“Baik. Kamu?”
“Seperti yang kamu lihat.
Tidak begitu baik.”
Aku menatap laki-laki disampingku. Waktu memang banyak merubah
banyak hal. Fisik, ingatan, dan perasaan.
“Aku tidak menyangka akhirnya bisa ketemu kamu lagi, Dis.”
“Aku, juga.” Sahutku. Pandanganku kembali ke arah langit.
“Aku kangen, Dis. Kangen kamu.”
Telingaku menangkap nada getir saat laki-laki itu mengucapkannya.
Aku tak tahu harus membalas apa. Berkata apa. Memangnya apa yang diharapkannya?
Sudah bertahun-tahun berlalu. Aku tak tahu bagaimana perasaanku kepada
laki-laki ini. Masih sama kah, atau telah berubah?nyatanya hatiku masih terasa
sesak. Bersamanya, berdua, duduk berdekatan seperti ini membuatku setengah
hidup. Laki-laki ini, akh . . . aku tak tahu apa yang tengah
dilakukannya terhadapku. Kehadirannya membuatku merasa aneh. Sesak sekaligus
melegakan.
“Kamu tidak kangen, Dis?”
Kangen?apa itu kangen?nama lain dari kata rindu?
“Aku masih berharap, kesempatan itu masih ada, Dis.”
Kesempatan?
“Semoga takdir masih berpihak padaku.” Lanjutnya
“Kesempatan seperti apa yang kamu maksud, Al?” Aku menatapnya
heran.
“Kesempatan memiliki hatimu.”
Hati?
“Orang-orang bilang, waktu banyak merubah banyak hal. Tapi tidak
hatiku, Dis. Hatiku masih mengharapkanmu. Aku masih mencintaimu.”
Kalimat itu terasa bagai tetesan hujan yang membasahi gurun yang
gersang. Sejuk. Menenangkan. Aku tak tahu, apa aku harus bahagia dengan
pernyataan laki-laki itu. Bagian kalimat bahwa dia masih mencintaiku tentu saja
melegakan. Namun apa bedanya dia masih mencintaiku atau tidak?semuanya tidak
berarti lagi saat ini.
“Dis . . .”
“Seharusnya kamu tidak perlu mengatakan ini, Al. Dan, seharusnya
aku tidak perlu kesini.” Aku bangkit. Segera beranjak.
“Tunggu, Dis!” Alfin ikut bangkit. Sebelum aku sempat melangkahkan
kaki, tangannya sudah menangkap lenganku dan memegangnya erat.
“Lepaskan, Al!” Aku mencoba berontak. Menarik tanganku dari
cengkeraman Alfin.
“Aku tahu, kamu juga begitu, Dis.”
“Diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi, Al. Semuanya sudah
berakhir. Jadi, percuma kamu bilang bahwa kamu masih mencintaiku.”
Alfin melepaskan cengkraman tangannya, beralih memegang kedua
bahuku. Wajah kami dekat sekali. Aku membuang muka. Menghindar dari tatapannya.
“Liat, aku Dis! Liat, aku!”
“Lepaskan, Al. Aku mau pulang!”
“Kenapa, Dis?kenapa kamu tidak mau menatapku?”
Alfin memegang dahuku. Membuatku tidak bisa menghindar lagi dari
tatapannya.
“Aku yakin, Dis. Kamu juga masih mencintaiku. Aku bisa melihatnya
di matamu. Dan karena alasan itulah kamu berada disini, kan?”
Aku membalas tatapan Alfin.
“Al, tidak penting apakah saat ini aku masih mencintaimu atau
tidak. Semuanya tidak berarti lagi.”
“Aku tahu, kamu juga masih mencintaiku, Dis.” Alfin mengabaikan
pernyataanku.
“Bagiku semuanya masih berarti Dis. Masih sangat berarti.”
“Lupakan aku, Al.”
“Gak bisa.!”
“Al, please! Jangan egois!”
“Aku mencintaimu, Dis. Dengan segenap hatiku.”
“Kita sekarang berbeda, Al.” Aku tidak bisa menahannya lagi.
Butiran hangat itu akhirnya jatuh dari sudut mataku.
“Kami sudah berpisah, Dis.”
Berpisah?
Ku rasakan, cengkraman Alfin melonggar. Hingga akhirnya tangan itu
sudah tidak lagi memegang bahuku tapi membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Aku
terisak.
“Maafkan aku, Dis. Maafkan aku telah membuatmu terluka. Kamu tahu,
aku tidak mencintai Maya. Aku menikahinya karena terpaksa. Demi, mama.”
Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Kali ini Alfin
membiarkannya.
“Hingga akhirnya kami berdua menyadari, tidak ada gunanya
mempertahankan rumah tangga kami.”
“Kamu bercerai?Kamu menceraikan Maya?”
Sungguh, ini benar-benar tidak bisa ku percaya.
“Maya tidak mencintaiku, Dis. Maya mencintai laki-laki lain. Kami
berdua terperangkap oleh keinginan dari kedua orang tua kami.”
Aku menatap langit. Warna jingga dilangit berubah gelap.
“Dis, selama ini aku mencarimu. Kamu seperti menghilang di telan
bumi. Aku bertanya pada teman-temanmu, mereka bilang tidak tahu. Keluargamu pun
enggan memberi tahu. Aku frustasi mencarimu. Aku hampir gila, Dis. Hingga suatu
malam, aku bermimpi. Aku melihatmu di tempat ini. Kamu berdiri di ujung dermaga
ini. Menatap langit berwarna jingga. Sama persis seperti saat ini. Lalu aku
mencoba peruntunganku. Aku datang ke tempat ini. Awalnya aku ragu bahwa yang
berdiri disana itu kamu. Aku takut ini mimpi. Aku takut ini hanya halusinasiku.
Tapi ternyata, itu benar-benar kamu. Aku tak percaya, bahwa itu kamu.”
“Dis . . . “
Aku kaget. Tiba-tiba Alfin berlutut didepanku.
“Al . . . “
Alfin mengambil kedua tanganku.
“Dis, aku mohon. Beri aku kesempatan.”
“Al . . .” Aku menggeleng.
“Ku mohon, Dis. Beri aku kesempatan. Izinkan aku kembali menjadi
bagian penting di hidupmu. Izinkan aku mencintaimu. Kembali memiliki hatimu.”
“Al, bangun . . . “
“Aku gak akan berhenti sampai kamu bilang iya, Dis.”
“Alfin . . . “
“Please, Dis . . . “
“Kalau kamu gak bangun, terserah! Aku pulang!”
Aku melepaskan tanganku dari genggaman Alfin, kemudian melangkahkan
kaki meninggalkan Alfin yang masih dengan posisinya. Kira-kira sepuluh langkah,
aku membalikkan tubuh. Alfin masih saja dengan posisinya. Aku melipat tanganku
di depan dada.
“Alfin!”
Alfin menatapku.
“Kamu pernah janji padaku, kamu akan melamarku di tempat ini dengan
seratus lampion. Jadi, aku tidak akan bilang iya, sebelum kamu penuhi janji
kamu itu.” Aku membalikan tubuhku kemudian melangkah dengan senyum.
“Jadi???”
Ku dengar langkah kaki mengejarku.
“Adis! Adis, tunggu!”
Aku mengabaikannya. Dan terus melangkahkan kaki.
Alfin tiba-tiba sudah ada di sampingku. Memegang tanganku. “Aku
janji, . Aku janji akan melamar kamu dengan seratus lampion seperti permintaan
kamu dulu.”
Aku mengangguk kemudian tersenyum.
Alfin menggenggam tanganku, kami melangkah bersisian. Meninggalkan
dermaga yang sudah mulai gelap. Langit sudah berganti tugas saat mentari
meninggalkan. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Alfin seperti dulu aku sering
melakukannya jika kami berkunjung ke tempat ini. Dermaga ini, pantai ini,
langit ini, burung-burung camar, angin, ombak, bebatuan, pernah menjadi saksi
cinta kami. Dan tak ku sangka, mereka tetap setia menjadi saksi. Mereka tahu,
aku masih mencintainya. Mencintai laki-laki disampingku. Yang memegang tanganku
erat seperti tak ingin melepasku lagi. Seberapa waktu berlalu, cinta tak pernah
lupa untuk kembali. Kembali ke pemilik hati.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar