Minggu, 27 Agustus 2017

Intermezzo : Aku dan coret-coret tak pentingku



Kesempatan

Aku memainkan kaki di bawah birunya air laut. Sudah sejak sepuluh menit yang lalu aku duduk di dermaga ini bersamanya. Semburat jingga mewarnai langit sore di depan kami. Aku menatap langit di depanku yang seolah menyatu dengan laut, menghirup udara yang mulai terasa sulit masuk ke paru-paruku. Sepuluh menit, duduk berdampingan di ujung dermaga ini, tak ada satupun diantara kami yang membuka suara. Tiba-tiba, hatiku diliputi rasa sesal kenapa memutuskan datang ke tempat ini. Harusnya aku tidak datang ke tempat ini. Harusnya tempat ini adalah tempat yang terlarang. Terlarang untuk ku kunjungi.
“Apa kabar, Dis?”
Serombongan camar terbang rendah menuju bebatuan karang yang tiada henti di jilati ombak. Aku menghela nafas, hingga akhirnya berhasil menarik bibirku membentuk senyum.
“Baik. Kamu?”
“Seperti yang  kamu lihat. Tidak begitu baik.”
Aku menatap laki-laki disampingku. Waktu memang banyak merubah banyak hal. Fisik, ingatan, dan perasaan.
“Aku tidak menyangka akhirnya bisa ketemu kamu lagi, Dis.”
“Aku, juga.” Sahutku. Pandanganku kembali ke arah langit.
“Aku kangen, Dis. Kangen kamu.”
Telingaku menangkap nada getir saat laki-laki itu mengucapkannya. Aku tak tahu harus membalas apa. Berkata apa. Memangnya apa yang diharapkannya? Sudah bertahun-tahun berlalu. Aku tak tahu bagaimana perasaanku kepada laki-laki ini. Masih sama kah, atau telah berubah?nyatanya hatiku masih terasa sesak. Bersamanya, berdua, duduk berdekatan seperti ini membuatku setengah hidup. Laki-laki ini, akh . . . aku tak tahu apa yang tengah dilakukannya terhadapku. Kehadirannya membuatku merasa aneh. Sesak sekaligus melegakan.
“Kamu tidak kangen, Dis?”
Kangen?apa itu kangen?nama lain dari kata rindu?
“Aku masih berharap, kesempatan itu masih ada, Dis.”
Kesempatan?
“Semoga takdir masih berpihak padaku.” Lanjutnya
“Kesempatan seperti apa yang kamu maksud, Al?” Aku menatapnya heran.
“Kesempatan memiliki hatimu.”
Hati?
“Orang-orang bilang, waktu banyak merubah banyak hal. Tapi tidak hatiku, Dis. Hatiku masih mengharapkanmu. Aku masih mencintaimu.”
Kalimat itu terasa bagai tetesan hujan yang membasahi gurun yang gersang. Sejuk. Menenangkan. Aku tak tahu, apa aku harus bahagia dengan pernyataan laki-laki itu. Bagian kalimat bahwa dia masih mencintaiku tentu saja melegakan. Namun apa bedanya dia masih mencintaiku atau tidak?semuanya tidak berarti lagi saat ini.
“Dis . . .”
“Seharusnya kamu tidak perlu mengatakan ini, Al. Dan, seharusnya aku tidak perlu kesini.” Aku bangkit. Segera beranjak.
“Tunggu, Dis!” Alfin ikut bangkit. Sebelum aku sempat melangkahkan kaki, tangannya sudah menangkap lenganku dan memegangnya erat.
“Lepaskan, Al!” Aku mencoba berontak. Menarik tanganku dari cengkeraman Alfin.
“Aku tahu, kamu juga begitu, Dis.”
“Diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi, Al. Semuanya sudah berakhir. Jadi, percuma kamu bilang bahwa kamu masih mencintaiku.”
Alfin melepaskan cengkraman tangannya, beralih memegang kedua bahuku. Wajah kami dekat sekali. Aku membuang muka. Menghindar dari tatapannya.
“Liat, aku Dis! Liat, aku!”
“Lepaskan, Al. Aku mau pulang!”
“Kenapa, Dis?kenapa kamu tidak mau menatapku?”
Alfin memegang dahuku. Membuatku tidak bisa menghindar lagi dari tatapannya.
“Aku yakin, Dis. Kamu juga masih mencintaiku. Aku bisa melihatnya di matamu. Dan karena alasan itulah kamu berada disini, kan?”
Aku membalas tatapan Alfin.
“Al, tidak penting apakah saat ini aku masih mencintaimu atau tidak. Semuanya tidak berarti lagi.”
“Aku tahu, kamu juga masih mencintaiku, Dis.” Alfin mengabaikan pernyataanku.
“Bagiku semuanya masih berarti Dis. Masih sangat berarti.”
“Lupakan aku, Al.”
“Gak bisa.!”
“Al, please! Jangan egois!”
“Aku mencintaimu, Dis. Dengan segenap hatiku.”
“Kita sekarang berbeda, Al.” Aku tidak bisa menahannya lagi. Butiran hangat itu akhirnya jatuh dari sudut mataku.
“Kami sudah berpisah, Dis.”
Berpisah?
Ku rasakan, cengkraman Alfin melonggar. Hingga akhirnya tangan itu sudah tidak lagi memegang bahuku tapi membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Aku terisak.
“Maafkan aku, Dis. Maafkan aku telah membuatmu terluka. Kamu tahu, aku tidak mencintai Maya. Aku menikahinya karena terpaksa. Demi, mama.”
Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Kali ini Alfin membiarkannya.
“Hingga akhirnya kami berdua menyadari, tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga kami.”
“Kamu bercerai?Kamu menceraikan Maya?”
Sungguh, ini benar-benar tidak bisa ku percaya.
“Maya tidak mencintaiku, Dis. Maya mencintai laki-laki lain. Kami berdua terperangkap oleh keinginan dari kedua orang tua kami.”
Aku menatap langit. Warna jingga dilangit berubah gelap.
“Dis, selama ini aku mencarimu. Kamu seperti menghilang di telan bumi. Aku bertanya pada teman-temanmu, mereka bilang tidak tahu. Keluargamu pun enggan memberi tahu. Aku frustasi mencarimu. Aku hampir gila, Dis. Hingga suatu malam, aku bermimpi. Aku melihatmu di tempat ini. Kamu berdiri di ujung dermaga ini. Menatap langit berwarna jingga. Sama persis seperti saat ini. Lalu aku mencoba peruntunganku. Aku datang ke tempat ini. Awalnya aku ragu bahwa yang berdiri disana itu kamu. Aku takut ini mimpi. Aku takut ini hanya halusinasiku. Tapi ternyata, itu benar-benar kamu. Aku tak percaya, bahwa itu kamu.”
“Dis . . . “
Aku kaget. Tiba-tiba Alfin berlutut didepanku.
“Al . . . “
Alfin mengambil kedua tanganku.
“Dis, aku mohon. Beri aku kesempatan.”
“Al . . .” Aku menggeleng.
“Ku mohon, Dis. Beri aku kesempatan. Izinkan aku kembali menjadi bagian penting di hidupmu. Izinkan aku mencintaimu. Kembali memiliki hatimu.”
“Al, bangun . . . “
“Aku gak akan berhenti sampai kamu bilang iya, Dis.”
“Alfin . . . “
Please, Dis . . . “
“Kalau kamu gak bangun, terserah! Aku pulang!”
Aku melepaskan tanganku dari genggaman Alfin, kemudian melangkahkan kaki meninggalkan Alfin yang masih dengan posisinya. Kira-kira sepuluh langkah, aku membalikkan tubuh. Alfin masih saja dengan posisinya. Aku melipat tanganku di depan dada.
“Alfin!”
Alfin menatapku.
“Kamu pernah janji padaku, kamu akan melamarku di tempat ini dengan seratus lampion. Jadi, aku tidak akan bilang iya, sebelum kamu penuhi janji kamu itu.” Aku membalikan tubuhku kemudian melangkah dengan senyum.
“Jadi???”
Ku dengar langkah kaki mengejarku.
“Adis! Adis, tunggu!”
Aku mengabaikannya. Dan terus melangkahkan kaki.
Alfin tiba-tiba sudah ada di sampingku. Memegang tanganku. “Aku janji, . Aku janji akan melamar kamu dengan seratus lampion seperti permintaan kamu dulu.”
Aku mengangguk kemudian tersenyum.
Alfin menggenggam tanganku, kami melangkah bersisian. Meninggalkan dermaga yang sudah mulai gelap. Langit sudah berganti tugas saat mentari meninggalkan. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Alfin seperti dulu aku sering melakukannya jika kami berkunjung ke tempat ini. Dermaga ini, pantai ini, langit ini, burung-burung camar, angin, ombak, bebatuan, pernah menjadi saksi cinta kami. Dan tak ku sangka, mereka tetap setia menjadi saksi. Mereka tahu, aku masih mencintainya. Mencintai laki-laki disampingku. Yang memegang tanganku erat seperti tak ingin melepasku lagi. Seberapa waktu berlalu, cinta tak pernah lupa untuk kembali. Kembali ke pemilik hati.
The End




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku ; Yang Terlewatkan

  Tidak Mungkin dan Tidak Pernah Aku selalu melihatmu,Tapi kamu tidak. Aku selalu menatapmu,Tapi kamu tidak. Aku akan selalu ada untukm...