Minggu, 25 Desember 2016

Makalah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam



PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN BANI UMAYYAH

Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. A. Hafiz Anshari, MA
Dr. H. Faishal Mubarak, MA





       OLEH :
                            
    AMELIA FITRIANI
   NIM  1502521453

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
 PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015








DAFTAR ISI
                                                                                   

Halaman Judul
………………………………………………………………
I
Kata Pengantar
………………………………………………………………………
Ii
Daftar isi
………………………………………………………………………
Iii



BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………
1
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………….
3

 A. Berdirinya Dinasti Bani Umayyah ……. ………………………
3

 B. Khalifah-khalifah Dinasti Bani Umayyah  …...……..…………..
4

 C. Sistem Pemerintahan Bani Umayyah …………………………...
5

 D. Kemajuan Yang dicapai Pada Masa Dinasti Umayyah  …………
5

 E. Runtuhnya Bani Umayyah...........……………...............................
12






BAB III
PENUTUP ……………………………………………………...
15

A. Simpulan ………………………………………………………….
15












KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan mengucap syukur kehadhirat Allah SWT. Berkat bimbingan serta petunjuk-Nya kami penyusun bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam terkhusus untuk baginda Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabat, serta pengikut beliau.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang diasuh oleh Bapak Prof. Dr. A. Hafiz Anshari MA dan Dr. H. Faishal Mubarak, MA.
Dengan selesainya pembuatan makalah ini, maka penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah membimbing dalam pembelajaran mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam ini. Penyusun sangat menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, baik itu dari segi penulisan, maupun dari segi analisis.
Semoga, makalah sederhana ini bermanfa’at secara keilmuan bagi penyusun untuk terus menggali dan belajar sebagai bentuk perbaikan. Akhir kata, Allah lah yang Maha mengatahui atas segala ciptaan-Nya.

                                                           Banjarmasin,    September  2015

                                                                                
                                                                              Penyusun





BAB I

PENDAHULUAN


Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan baru yang berpola dinasti atau kerajaan.  Dinasti Bani Umayyah adalah dinasti Islam pertama setelah masa khulafaur rasyidin. Wilayah kekuasaannya meliputi Jazirah Arab dan sekitarnya, Afrika Utara, dan Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd Asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan[1], atau di sebut Muawiyah I.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.[2]
Perintisan dinasti ini dilakukan Muawiyah dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Mu’awiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan[3].
Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada ummat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan nama ‘Ammul jama’ah atau tahun persatuan karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan bahwa selama masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah, banyak perkembangan yang terjadi di dalam dunia Islam, mulai dari perkembangan politik pemerintahan, ekspansi wilayah, kemajuan ilmu pengetahuan agama dan lain-lain.
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai Dinasti Bani Umayah mulai dari latar belakang berdirinya Dinasti Bani Umayah, perkembangan dan kemajuan, sistem pemerintahan, hingga faktor-faktor kemunduran Dinasti Bani Umayah.


BAB II

PEMBAHASAN



A.      Berdirinya Dinasti Bani Umayyah

Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah Bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132H/750 M. Kata “Umayyah” di nisbatkan kepada Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. 
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal dimana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari gegaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya setelah Husein putra Ali bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah.
Kekhalifahan Muawiyah ini diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya , tidak dengan pemilihan. Hal ini berbeda dengan proses pemilihan kepala Negara pada masa sebelumnya, yang diniliai cukup demokrasi. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "Khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
Terlepas dari keberhasilannya memperoleh kekuasaan yang kebanyakkan di pandang negative oleh sebagian sejarawan, Muawiyyah sebenarnya adalah pribadi yang sempurna dan pemimpin yang berbakat. Keberhasilannya mendirikan imperium Umayyah bukan hanya kemenangan diplomasinya dalam arbitrase dan terbunuhnya Ali, melainkan sifat-sifat seorang penguasa, politikus, dan administrator yang berkumpul dalam dirinya dan juga kepiawaiannya membentuk membentuk basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya dimasa depan.yang menyebabkan dirinya mampu mendirikan imperium Umayyah yang berkuasa selama kurang lebih 90 tahun. 
Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah
1.      Dukungan yang kuat dari rakyat Syria dari keluarga Bani Umayyah.
2.      Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.      Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat hilm sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.[4]

B.       Khalifah-Khalifah Dinasti Bani Umayyah
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir mencapai satu abad, yaitu kurang lebih dari 90 tahun dengan 14 orang khalifah. Adapun khalifah-khalifah yang berkuasa pada dinasti Umayyah  ini berjumlah 14, antara lain :
1.      Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
2.      Yazid bin Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
3.      Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M)
4.      Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (66-86H/685-705M)
6.      Al-Walid bin Abdul Malik (86-97H/705-715M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)
8.      Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M)
9.      Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (106-126H/724-743M)
11.  Al-Walid II bin Yazid (126-127H/743-744M)
12.  Yazid III bin Walid(127H/744M)
13.  Ibrahim bin Malik (127H/744M)
14.  Marwan II bin Muhammad (127-133H/744-750M)
Diantara 14 orang khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dalam kurun waktu 90 tahun, terdapat beberapa orang khalifah yang di anggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahan. Adapun nama-nama khalifah yang menonjol karena prestasinya masing-masing adalah sebagai berikut:
1.      Muawiyah bin Abi Sufyan
2.      Abdul Malik bin Marwan
3.      Al-Walid bin Abdul Malik
4.      Umar bin Abdul Aziz
5.      Hisyam bin Abdul Malik.[5]

C.      Sistem Pemerintahan Bani Umayyah
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, yaitu monarki. Sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Hal ini dimulai dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid [6] untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 680 M.
Perintah Muawiyyah ini merupakan bentuk pengukuhan terhadap sistem pemerintahan yang turun-temurun yang di bangun Muawiyah. Tidak ada lagi pemilihan kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah dalam menentukan seorang pemimpin yang baru. Dengan berlakunya sistem monarki tersebut, orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk naik sebagai pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena system dinasti hanya memberlakukan ke khalifahan dipimpin oleh keturunannya.[7]
Walaupun Muawiyah mengubah system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan, Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan status jabatan khalifah di artikan sebagai “Wakil Allah” dengan memimpin umat.
D.      Kemajuan Yang Dicapai Pada Masa Dinasti Umayyah
Majunya Dinasti Umayyah di capai karena banyaknya dilakukan ekspansi, sehingga menjadi negara islam yang  besar dan luas[8]. Perhatian pemerintahan tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan yang terhenti sejak zaman khulafaur rasyidin yang terakhir. Hanya dalam waktu kurang lebih 90 tahun banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgiztan yang termasuk Soviet Rusia.[9]
Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, kemajuan yang dicapai tidak hanya dalam bidang militer dan kekuasaan saja, melainkan juga dalam bidang lainnya seperti sastra, ilmu pengetahun, sosial, budaya, politik dan pemerintahan.
Berikut beberapa kemajuan yang berhasil di capai oleh Dinasti Bani Umayyah:
1.      Bidang Militer dan Kekuasaan
Dalam bidang militer, dinasti Bani Umayyah berhasil melebarkan sayap ekspansinya dengan menguasai wilayah yang hampir setara dengan kekuasaan Alexander Agung. Dalam catatan sejarah, hampir semua wilayah yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah sama luasnya dengan yang di kuasai oleh Alexander Agung.[10]
Penaklukan militer pada zaman bani Umayyah mencakup tiga front penting: 
1.    Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibukota konstantinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di laut Tengah.
2.    Front Afrika Utara. Selain menundukkan Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
3.    Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi di jalur ini dibagi menjadi dua arah; yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu Darya), sedangkan lainnya kea rah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat.[11]
Itulah tiga front penting penaklukan militer Dinasti Umayyah. Prestasi yang paling besar yang di capai oleh Dinasti Umayyah adalah penaklukan pada masa pemerintahan Al-Walid I yaitu front Afrika Utara dan sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara di duduki, pasukan muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi Selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Kmudian ibu kotanya, Kordoba segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain, seperti Sevilla, Elvira, dan Toledo. Gurbernur Musa bin Nushair pun menyempurnakan penaklukan atas tanah eropa ini dengan menyisir Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingin, Prancis.[12]
2.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Dalam bidang politik, Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru demi memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasihat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah juga di bantu oleh beberapa sekretaris guna membantu pelaksanaan tugas,[13] di antaranya ialah sebagai berikut:
a.       Katib ar-rasail, yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan para pembesar setempat.
b.      Katib al-kharraj, yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
c.       Katib al-jundi, yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d.      Katibasy-syurtah, yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e.       Katib al-qudat, yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hokum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[14]
Untuk mengurusi administrasi, pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubernur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
a.       Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Diwan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat:
1.      Sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa arab sebagai pengantar.
2.      sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.[15]
b.      Diwan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.[16]
c.       Diwan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.
d.      Diwan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus di segel dan dikirim ke alamat yang dituju. [17]
Selain itu, jasa-jasa Bani Umayyah dalam bidang pemerintahan cukup banyak, diantaranya:
a.       Masa pemerintahan Muawiyyah. Muawiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri.
b.      Masa pemerintahan Malik bin Marwan. Khalifah inilah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskannya di atasnya ayat-ayat al-qur’an.[18] Beliau juga melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
c.       Masa pemerintahan Al-walid bin Abdul Malik. Kemajuan yang di capai pada masa pemerintahan Al-walid adalah banyaknya di bangun panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
d.      Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Dalam pembangunannya, Umar bin Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Keberhasilannya antara lain menjalin hubungan baik dengan golongan Syiah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak di ringankan, dan kedudukan mawali (non-Arab) di sejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan keteladanannya, ia sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali bin Abi Thalib.[19]
e.       Masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik merupakan khalifah bani Umayyah yang paling terkenal dibidang ilmu pengetahuan dengan meletakkan perhatian yang besar pada ilmu pengetahuan. [20]
3.      Bidang Sosial dan Budaya
Dalam bidang Sosial budaya, Bani Umayyah mulai membuka hubungan dengan bangsa-bangsa lain seperti Persia, Mesir, Eropa, yang kemudian melahirkan aktifitas baru yang menakjubkan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang seni yang berkembang adalah seni bahasa (sastra), seni ukir dan seni bangunan (Arsitektur). Salah satu pencapaian gemilang dalam seni arsitektur yang tercatat adalah Dome the Rock atau juga di sebut Qubah ash-Shakira di Jerussalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya di kagumi orang.[21] Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali ditutup dengan kubah. Pada masa ini pula telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia, dan Arab. Contohnya adalah Masjid Damaskus yang di bangun masa pemerintahan Walid ibn Abdul Malik dan masjid Agung Kordoba yang terbuat dari pualam[22]. Dengan demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.
Di dalam seni bahasa atau kesastraan, banyak muncul para penyair terkenal, seperti Umar bin Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-gharidh. Pada masa ini, muncul Sibawaih yang menyusun buku tata bahasa pertama berjudul Al-kitab, sehingga di sebut “Bapak Ilmu Nahwu” Arab, karena buku itu menjadi standard awal pengembangan ilmu nahwu.[23]
Perkembangan seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan Khat Arab sebagai motif ukiran atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding masjid dan tembok-tembok istana yang di ukir dengan Khat Arab. Salah satu yang masih tertinggal adalah ukiran dinding Qushair Amrah (Istana Mungil Amrah), Istana musim panas di daerah pegunungan yang terletak sekitar 50 mil sebelah timur Amman.[24]
Dalam bidang pengetahuan pada masa Dinasti Umayyah di bagi menjadi beberapa bagian :
1.      Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru) yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi),
2.      Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
3.      Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. [25]
Kemajuan yang lain yang di capai Dinasti Umayyah adalah kemajuan dalam bidang peradaban. Kemajuan dalam bidang peradaban ini terbagi menjadi pengembangan bahasa dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bidang ini, Dinasti Umayyah menemukan jalan yang lebih luas dalam kancah pengembangan dan perluasan dalam bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa sebagai pengantarnya.
Adapun beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan ialah sebagai berikut :
1.        Pengembangan Bahasa Arab
Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa resmi Negara, baik di tanah Arab maupun di daerah kekuasaan seperti Romawi dan Persia. Pembukuan atau surat menyurat memakai bahasa Arab.
2.      Marbad; Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Marbad adalah kota kecil yang didirikan bani Umayyah sebagai pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan. Di kota Marbad inilah berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya, sehingga kota ini di beri gelar ukadz-nya Islam.
3.      Ilmu Qira’at
Ilmu Qira’at adalah ilmu seni baca al-qur’an. Ilmu qira’at merupakan ilmu syariat agama tertua yang telah di bina sejak zaman khulafaur rasyidin. Kemudian pada masa Dinasti Umayyah di kembangkan menjadi cabang ilmu syariat yang sangat penting. Pada masa ini, lahir para ahli qira’at ternama seperti Abdullah bin Qusair dan Ashim bin Abi Nujud.
4.      Ilmu Tafsir
Untuk memahami al-qur’an sebagai kitab suci diperlukan interpretasi pemahaman secara komprehensif. Minat menafsirkan al-qur’an dikalangan umat Islam semakin meningkat. Salah satu ulama yang membukukan ilmu tafsir pada masa perintisannya adalah Mujahid (wafat tahun 104 H)
5.      Ilmu Hadist
Ilmu Hadist adalah ilmu yang mempelajari hadist secara mendalam, mulai dai pengumpulan,penyelidikan asal-usulnya, sehingga menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadist. Ulama-ulama hadist yang masyhur pada masa itu ialah Al-Jauzi Abdurrahman bin Amru (wafat 110 H), Ibnu Abu Malikah Ubaidillah, Urwa(119H) dan Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (wafat 104 H).
6.      Ilmu Fiqih
Pada masa ini, ilmu fiqih telah menjadi cabang ilmu yang berdiri sendiri. Diantara para ahli fiqih yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim, Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7.      Ilmu Nahwu
Karena meluasnya wilayah Islam pada masa bani Umayyah khususnya ke wilayah  diluar Arab, maka ilmu nahwu sangat di perlukan. Hal ini di karenakan bertambahnya orang Ajam (non-Arab) yang masuk islam sehingga keberadaan bahasa Arab sangat di butuhkan baik untuk mempelajari bahasa Arab atau mempelajari ilmu Islam.
8.      Ilmu Jughrafi dan Tarikh
Ilmu Jughrafi adalah ilmu bumi atau geografi sedangkan Tarikh adalah ilmu sejarah baik sejarah umum maupun sejarah Islam pada khususnya. Adanya perkembangan dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang lebih luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu jughrafi dan ilmu tarikh. Kedua ilmu ini lahir pada masa dinasti Umayyah yang berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada saat ini.
9.      Usaha Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah islamiyah pada masa Dinasti Umayyah, di mulai pula penerjemahan buku-bulu ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Seperti buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, kedokteran, dan lain-lain. [26]
Demikianlah perkembangan dan kemajuan yang berhasil di capai oleh Dinasti Umayyah yang menjadi embrio bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Dinasti Abbasiyah.

E.       Runtuhnya Bani Umayyah
Kebesaran yang dibangun oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran dinasti itu meski telah berkuasa hampir satu abad. Dari kurang lebih 90 tahun berkuasa hanya beberapa khalifah saja yang dalam memegang kekuasaan, dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Maiik, selain mereka itu khalifah yang memimpin merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[27]
Menurut Dr. Badri Yatim, Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Bani Umayyah melemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya yang tidak jelas. Ketidakjelasan system pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.      Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[28]
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor penyebab keruntuhan dinasti Bani Umayyah secara umum ada dua yaitu:
1.      Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah:
a.       Kekuasaan wilayah yang sangat luas tetapi tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh pusat.
b.      Lemahnya para khalifah yang memimpin. Diantara khalifah-khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya. Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan Negara.
2.      Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya.
Semasa pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah.
Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamasikan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pemimpin gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu[29].
            Abul Abbas As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran itu.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan.
Di tengah pengambilan sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh As-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada As-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.[30]

BAB III

PENUTUP


A.      Kesimpulan
Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah Bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132H/750 M. Kata “Umayyah” di nisbatkan kepada Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. 
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, yaitu monarki. Sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Hal ini dimulai dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid [31] untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 680 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjangan dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
Kekuasaan Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran,karena adanya dua faktor yang sangat berpengaruh yaitu faktor internal dan eksternal.



  
DAFTAR PUSTAKA


Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,  (Jakarta: Akbar      Media Sarana, 2007)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1978), jilid 1
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), jilid 1, Cet ke-2
Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002)
Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, (Medan : Wal Ashri Publishing, 2011),
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015)

Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah (Mesir, Darul Kitab al-Gharbi, 1951),
Bisri M. Jaelani, Ensiklopedi Islam (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007)
Alifa Aryatna, 125 Cerita dan Fakta Islam yang Unik dan Menakjubkan, (Jakarta: Anak Kita, 2013)
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II (Jakarta: Pustaka Al-Husna          
Azizah, Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), (Yogyakarta, Nusantara Press, 2011)
Imam As-syuthi, Tarikh Khulafa’(Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2003)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009)
Moh. Nurhakim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Malang: UMM Press, 2003),
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA (Surabaya: Karya Toha Putra,



[1] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, (Medan : Wal Ashri Publishing, 2011), hal : 123
[2] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 246
[3] Ibid h. 247
[5] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 252
[6] Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah (Mesir, Darul Kitab al-Gharbi, 1951), hlm. 42
[8] Bisri M. Jaelani, Ensiklopedi Islam (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007) h. 436
[9] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 253
[10] Alifa Aryatna, 125 Cerita dan Fakta Islam yang Unik dan Menakjubkan,(Jakarta: Anak Kita, 2013), h. 40
[11] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983) h. 124-139
                                                                                                                                                 
[12] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 254    
[13] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 254
[14] Azizah, Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), (Yogyakarta, Nusantara Press, 2011) h. 99.
[15] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), Jilid 1, cet ke-2, h. 87
[16] Ibid, h. 88
[17] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002) h. 88
[18] Imam As-syuthi, Tarikh Khulafa’(Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2003) h. 258
[19] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 255
[20] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 133
[21] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 256
[22] Ibid, h. 256
[23] Moh. Nurhakim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Malang: UMM Press, 2003), h. 57
[24] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA (Surabaya: Karya Toha Putra,
[26] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 259-261
[27] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1978) jilid I,  h.62
[28] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005),  h. 48-49
[29] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007) h. 211
[30] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 265-266











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku ; Yang Terlewatkan

  Tidak Mungkin dan Tidak Pernah Aku selalu melihatmu,Tapi kamu tidak. Aku selalu menatapmu,Tapi kamu tidak. Aku akan selalu ada untukm...