Minggu, 25 Desember 2016

Makalah Qawaid Tahdis


       

Perkembangan Model Kajian Hadis Di Barat

Mata Kuliah Qawaid Tahdis

Dosen Pengasuh:
Dr. Saifuddin, M. Ag
Dr. Dzikri Nirwana, M. Ag
 
 


  OLEH :
                            
    AMELIA FITRIANI
   NIM  1502521453


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
 PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015


KATA PENGANTAR

      Dengan mengucap Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa selalu melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Shalawat dan salam atas junjungan jkita Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat dan orang-orang yang mengikuti langkah beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaiakan makalah ini yang berjudul “Perkembangan Kajian Hadis di Barat “.
            Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dalam rangka memperbanyak ilmu pengetahuan dan juga sebagai salah satu syarat yang wajib di penuhi. Penyusun sepenuhnya sangat menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya di sebabkan keterbatasan pengetahuan penyusun oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini yang akan datang.
            Dalam proses penyelesaian makalah ini penyusun menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
Bapak Dr. Saifuddin, M.Ag dan Dr. Dzikri Nirwana, M.Ag selaku dosen mata kuliah Qawa’id al-Tahdits.
            Akhirnya penyusun mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi diri penyusun maupun bagi orang lain.
                                                                                    Banjarmasin,                          2015


                                                                                                          Penyusun


DAFTAR ISI
                                                                                   

Halaman Judul
………………………………………………………………
i
Kata Pengantar
………………………………………………………………………
ii
Daftar isi
………………………………………………………………………
iii



BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………
1
BAB II
PEMBAHASAN ……………………………………………………
3

 A. Orientalis dan Orientalisme ……………………........................
3

 B. Sejarah Munculnya Orientalisme ……………………………….
4

 C. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis ……………………
5

 D. Teori dan Asumsi Orientalis Terhadap Otentitas Hadis …………
7

 E. Bantahan Ulama Terhadap Pandangan Orientalis ......................
11






BAB III
PENUTUP ……………………………………………………...
14

A. Simpulan ………………………………………………………….
14





DAFTAR PUSTAKA
15


BAB I
PENDAHULUAN

Kajian keIslaman ternyata tidak hanya diminati oleh kalangan umat Islam itu sendiri tetapi juga diminati oleh orang-orang diluar kalangan Islam khususnya oleh para sarjana-sarjana Barat. Studi keIslaman dikalangan umat Islam tujuan dan motifasinya berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan Islam. Dikalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan diluar kalangan umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan.
Pada mulanya kajian keislaman yang dilakukan oleh para sarjana Barat hanya kepada bidang keilmuan yang bersifat umum saja, namun seiring berjalannya waktu kajian tersebut mulai masuk kedalam ranah kajian yang khusus termasuk di dalamnya adalah kajian tentang hadist, dimana dalam  Islam hadist menempati posisi penting yang kedua sebagai sumber hukum Islam setelah al-qur’an.
Kajian atau studi  mereka yang berasal dari Barat mengenai hadis berbeda dengan studi di kalangan umat islam  pada umumnya, dimana kajian hadist lebih ditekankan pada persoalan takhrij dan syarah hadis untuk menentukan otentisitas dan kandungan makna dari hadist tersebut. Sedangkan di Barat, lebih menekankan pada bagaimana melakukan penanggalan hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam. Model studi hadis di Barat lebih banyak berupa kritik sejarah. Dalam bidang hadis, setidaknya ada tiga orang dari kalangan orientalis yang disebut sebagai tokoh kritik hadis. Mereka adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Dalam makalah ini  akan dibahas kajian yang dilakukan orientalis dalam bidang hadis meliputi apa itu orientalisme, bagaimana pandangan tokoh-tokoh orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadis, dan bagaimana bantahan ilmuan hadis terhadap pandangan tokoh-tokoh orientalis.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Orientalis dan Orientalisme
Sebelum membahas kajian ilmuwan Barat (orientalis) terhadap hadis, maka kita ketahui dulu apa itu orientalisme. Secara bahasa, istilah orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur, dan kata ism yang berarti paham. Jadi secara bahasa orientalisme adalah paham tentang dunia timur atau ketimuran. Dalam kamus Webster  juga di jelaskan bahwa orientalisme berarti study of Estern culture (kajian tentang kultur Timur), sedangkan orang  yang memiliki concern terhadap kultur Timur di sebut orientalis.[1] Orientalis di definisikan sebagai segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, adat-istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
Sedangkan secara istilah, orientalisme merupakan salah satu disiplin keilmuan yang termasuk dalam aliran pemikiran Pencerahan Eropa yang mempelajari tentang ketimuran (agama, budaya, bahasa, seni, sastra, musik, dan sebagainya) yang menekankan pada kajian filologis yang kritis yang tumbuh subur di Barat pada abad 18-20.[2]
Edward Said dalam karya monumentalnya Orientalisme, memberikan tiga pengertian dasar orientalisme. Pertama, orientalisme diartikan sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai seseorang yang memiliki  pengetahuan dan pemahaman tentang budaya Timur. Kedua, merupakan sebuah gaya atau model pemikiran yang berdasarkan ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya. Ketiga, merupakan cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi dan menguasai dunia Timur. [3]
Dengan demikian orientalisme yang dimaksud adalah kajian akademis yang dilakukan ilmuwan Barat (orientalis) mengenai Islam dan umat Islam dari seluruh aspeknya, dengan tujuan untuk membentuk opini umum dalam hal tertentu, sebagai siasat menguasai dunia Timur Islam yang mencerminkan pertentangan latar belakang ideology, historis dan kultur antara Barat dan Timur.
Khusus berkaitan dengan Islam, pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis bersifat umum. Namun dalam perkembangannya, kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahirlah berbagai kajian tentang Islam seperti Al-qur’an, hadist, hukum, sejarah, dan sebagainya. Fokus kajian Islam yang mereka tekankan adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-qur’an dan hadist nabi.
B.     Sejarah Munculnya Orientalisme
Tidak ada keterangan yang jelas, kapan dan siapa sebenarnya orang Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Sebagian peneliti menyatakan kegiatan orientalis itu sendiri ada pada abad kesepuluh Masehi. Sebagian lain berpendapat muncul setelah Perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara 1097-1295. Adapula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya pada abad 13 di Andalusia, ketika serangan kaum Salib Spanyol terhadap Islam mencapai puncaknya. Adapula yang menyatakan bahwa kajian ketimuran yang kemudian dinamakan dengan orientalisme ini bersamaan dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia islam abad 17 Masehi, disaat melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang di anggap sebagai garis pemisah antara Eropaa dengan Negara-negara Timur. [4]
Namun diantara kemunculan orientalisme disebabkan beberapa hal, yaitu: Pertama, terjadinya Perang Salib dan Imperialisme atau kolonialisme. Kedua, sentuhan Barat dengan perguruan-perguruan tinggi Islam. Ketiga, penyalinan naskah-naskah ke dalam bahasa latin pada setiap bidang ilmu pengetahuan.[5]
Dalam kajiannya, orientalisme mempunyai karakter khusus yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri. Adapun karakteristik orientalisme adalah sebagai berikut:
a.       Orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan sangat erat hubungannya dengan kolonial Barat. Khususnya kolonial Inggris dan Perancis sejak akhir abad XIII hingga usainya perang dunia kedua. Kalau ada kolonialisme, disitu ada orientalisme.
b.      Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang kuat dengan gerakan kristenisasi. Antara lain untuk mempelajari dan memahami secara mendalam masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai sarana mengotori citra Islam, menumbuhkan perselisihan dan pertentangan di kalangan sesama umat Islam serta menumbuhkan perasaan ragu terhadap ajaran Islam dan berusaha keras memurtadkan umat Islam.
c.       Orientalisme merupakan kajian gabungan yang mesra antara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan objektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, terutama dalam kajian Islam, yang dimulai dengan mengalihkan dan mengubah pandangan dari metode Islam kepada metode pengetahuan Barat.
d.      Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap potensial dalam politik dan dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum muslimin.[6]

C.    Sejarah Kajian Hadis Di Kalangan Orientalis
Hadis dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat penting karena merupakan sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam. Karena sangat sentralnya keberadaan hadis Nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadis yang diteliti dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan, tidak terkecuali para orientalis. Dari sekian banyak bidang kajian yang mereka garap, Hadis merupakan salah satu bidang yang mereka kaji secara serius.
Tentang siapa orientalis yang pertama kali mengadakan kajian di bidang ini, belum ditemukan kepastian sejarah. Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat. Menurut G.H.A. Joynboll, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah Alois Spenger yang kemudian diikuti oleh Sir William Muir dalam karyanya life of Mohamet. Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M) melalui karyanya yang berjudul Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pandangannya tentang hadis.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, hal yang perlu diketahui adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap otentitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai ”kitab suci” oleh para orientalis sendiri.[7]
Kemudian kehadiran Joseph Schacht melalui bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950 dianggap sebagai ”kitab suci kedua” oleh para orientalis berikutnya juga telah membawa dampak yang kuat terhadap terhadap sejumlah kajian hadis di kalangan orientalis. Kedua orang inilah yang mempunyai peranan yang besar dalam pengkajian hadis dikalangan orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya’kub, untuk mengetahui kajian hadis dikalangan orientalis, cukup dengan hanya menelusuri pendapat kedua tokoh ini, karena para orientalis sesudah mereka pada umumnya hanya mengikuti pendapat keduanya.[8]
Ada beberapa faktor yang mendorong hadist menjadi kajian para orientalis; Pertama, lebih mudahnya usaha memburukkan islam melalui penyelidikkan hadis dibanding penelitian terhadap Al-qur’an. Beberapa studi yang di buat secara serius, objektif, dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua, banyaknya kontradiksi dalam materi corpus hadis itu sendiri.[9]
Secara epistemologis, ada tiga hal yang sering dikemukakan dan dipaparkan orientalis dalam pengkajian mereka terhadap hadis; Pertama, aspek kepribadian Nabi Muhammad SAW, Kedua, aspek perawi atau sanad hadis, Ketiga, aspek matan hadis.

D.    Teori dan Asumsi Orientalis terhadap Otentitas Hadis
Kajian atau studi hadist di kalangan sarjana Barat (orientalis) berbeda dengan studi di kalangan umat islam  pada umumnya (Timur). Para sarjana muslim dalam penelitian hadist menekankan pada bagaimana memverifikasi sebuah hadis untuk membedakan yang autentik dari yang tidak autentik, berbeda bagi kalangan orientalis, penekanan dalam kajian hadis di Barat adalah bagaimana melakukan sebuah penanggalan (Dating) atas sebuah hadis untuk menilai asal-usul atau sumbernya. Hal ini di sebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar, kalau tidak semua, sarjana Barat percaya bahwa sangat sedikit, kalaupun ada, hadis dapat di atributkan secara historis kepada Nabi.[10]
Untuk mengetahui kajian-kajian orientalis tentang Hadits, maka kita telurusi kajian yang dilakukan kedua tokoh orientalis yaitu Ignaz Goldziher,  Josepht Schacht dan y G. H.A Juynboll yang meragukan keotentisitasan hadis.
1.      Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis kenamaan yang lahir di Hongaria pada tahun 1850. Orientalis yang merupakan keturunan dari keluarga Yahudi ini belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Disamping itu, dia juga belajar islam ke Timur tengah yakni Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi pada tahun 1873, Pelestina, dan sempat “nyantri” di Mesir  untuk belajar ke sejumlah Syaikh di Al-Azhar Kairo selama setahun 1873-1874. Sepulang dari Al-azhar, dia diangkat  sebagai guru besar di Universitas Budapest. Orientalis yang meninggal pada tahun1921 ini menulis banyak karya ilmiah yang di publikasikan ke dalam bahasa Jerman, Inggris, Prancis, dan Arab. Diantara karya monumentalnya Muhammadanische Studien, disebut sebagai karya master peace yang menjadi rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat.[11]
Secara umum pandangan Ignaz Goldziher terhadap hadits adalah bahwa apa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW.[12] Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan keotentikan hadits didasarkan atas beberapa alasan, diantaranya, ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama.[13] Goldziher menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi awal-awal islam, tetapi hanya menjadi sumber yang sangat bernilai bagi dogma, konflik, dan perhatian Muslim belakangan yang telah menyebarkan hadis. Pendapat ini kemudian diperkuat sejumlah sarjana barat lainnya yang juga menolak hadis sebagai sumber otentik bagi rekonstruksi sejarah Nabi dan sejarah perkembangan awal Islam abad pertama hijriah, yakni John Wansbrough, Patricia Crone, dan Michael Cook. [14]
2.      Joseph Schacht
Josepht Schahct adalah seorang orientalis yang lahir di Ratibor, Silisie Jerman pada tanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun dengan prediket summa cumlaude. Dia adalah seorang ahli dan peneliti msalah ketimuran di Departemen Penerangan Inggris, setelah menikahi gadis Inggris pada tahun 1939. Karya-karyanya antara lain adalah: 1) The Origins of Muhammad Jurisprudence, an Introduction to Islamic law, 2) Pre Islamic Background and Early Develompemnt of Jurisprudence. [15]
Pemikiran Josepht Schahct terhadap hadits  banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schacht sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar dari sanad nabi adalah palsu, dan dia berhasil “menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih. Menurutnya semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga Hijriyah.[16]  Schacht menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua Hijriyah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut. [17]
Pemikiran Josepht Schacht tentang hadis adalah bingkai pemikirannya tentang pembentukkan hukum Islam. Asumsi-asumsi Schacht tentang hukum islam adalah; Pertama, hukum islam bukanlah seperangkat norma yang diwahyukan, melainkan sebagai fenomena historis yang memiliki kaitan yang demikian erat dengan realitas sosial. Kedua, jika hukum islam merupakan realitas historis, maka sumbernya (baca: hadis) juga merupakan akibat dari proses perkembangan historis. Ketiga, adopsi tradisi non-Islam semakin berkembang ketika territorial islam mencapai wilayah diluar jazirah Arab, sejak era khalifah Rasyidah dan era Umayyah. Keempat, pengangkatan hakim-hakim era Umayyah di tengarai mendorong upaya penyandaran keputusan berdasarkan landasan-landasan yang lebih otoritatif, yakni sunnah dari Nabi. Kelima, munculnya kelompok ahli hadis ternyata justru menjadi justifikasi bagi berkembangnya aliran fiqih yang disandarkan kepada generasi masa lalu dan dari sinilah timbulnya teori “Projecting Back”[18]
Teori ini mengandaikan bahwa sanad yang pada mulanya lahir dalam pemakaian yang sederhana dikembangkan dan di proyeksikan ke belakang sedemikian rupa sehingga terjadi pengadaan sanad pada generasi awal/tua dengan tujuan agar berita tertentu memiliki kekuatan yang otoritatif. Dengan demikian, hadis tidak turut (bersama Al-qur’an membentuk hukum Islam) karena hadis tidak berasal dari Nabi tetapi di buat pada abad ke-2 H. [19]
Berdasarkan pemahaman seperti inilah maka Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok fiqih klasik maupun ahli hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh karenanya tidak ada hadis yang benar-benar berasal dari Nabi tetapi merupakan produk yang lahir dari persaingan antar ulama.
3.      G. H.A Juynboll
Tokoh Orientalis yang bernama lengkap Gautier H.A Juynboll ini  lahir di Leiden, Belanda tahun 1935. Kepakarannya dalam bidang sejarah perkembangan awal hadis dapat di sejajarkan dengan james Robson, Fazlul Rahman, MM Azami dan Michael Cook. Dia adalah seorang peneliti dan daily visitor di perpustakaan Universitas Leiden untuk meneliti hadis, serta pengajar di berbagai Universitas di Belanda. Di antara karya-karyanya adalah; 1) Concordance et indices de la Tradition Musulmane (kamus hadis th 60-an), 2) On the Origins of Arabic Prose (1974), 3) the authenticity of the tradition Literature: Discussion in Modern Egypt.
Teorinya yang terkenal adalah Common Link yang sebenarnya merupakan pengembangan dan elaborasi dari gagasan Josepht Schacht. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi:
a.       Semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim sejarah.
b.      Periwayat yang di anggap sebagai Common Link (CL) bertanggung jawab atas jalur tunggal yang kembali kepada otoritas tertua, sahabat, atau nabi, berikut perkembangan teks yang terjadi di dalamnya,
c.       Posisi Common Link sebagai origator (pencetus) atau fabricator (pemalsu) isnad dan matan hadis yang kemudian di sebarkan kepada sejumlah muridnya.
Adapun cara kerja dari teori Common Link adalah:
a.       Menentukan hadis yang akan di teliti
b.      Meneliti hadis dalam berbagai koleksi hadis
c.       Menghimpun seluruh isnad hadis
d.      Menyusun dan merekonstruksikan seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad (pohon sanad)
e.       Mendeteksi periwayat yang dinilai paling bertanggung jawab atas penyebaran hadis.
Berdasarkan teori yang dikembangkannya itu pula, Juynboll berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang termuat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim belum tentu hadis itu otentik dan memiliki klaim kesejarahan yang pasti. Bahkan dia menyatakan dalam salah satu karyanya bahwa tidak ada satupun metode yang layak di pegang dan digunakan untuk menentukan secara pasti apakah suatu hadis itu otentik atau tidak.[20]
E.     Bantahan Ulama terhadap Pandangan Orientalis
1.        Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.
2.      Bantahan untuk Josep Schacht
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu.  Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Teori Projecting Back nya Schacht yang mengemukakan bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasi pendapat para hakim dalam menetapkan suatu hukum masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis memang muttasil sampai kepada Rasulullah Saw melalui jalur-jalur yang disebutkan diatas. Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari rasulullah Saw sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3.      Bantahan untuk G.H.A Juynboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat. [21]


BAB III
KESIMPULAN

Pada mulanya kajian keislaman yang dilakukan oleh para sarjana Barat hanya kepada bidang keilmuan yang bersifat umum saja, namun seiring berjalannya waktu kajian tersebut mulai masuk kedalam ranah kajian yang khusus termasuk di dalamnya adalah kajian tentang hadist, dimana dalam  Islam hadist menempati posisi penting yang kedua sebagai sumber hukum Islam setelah al-qur’an.
Kajian atau studi  mereka yang berasal dari Barat mengenai hadis berbeda dengan studi di kalangan umat islam  pada umumnya, dimana kajian hadist lebih ditekankan pada persoalan takhrij dan syarah hadis untuk menentukan otentisitas dan kandungan makna dari hadist tersebut. Sedangkan di Barat, lebih menekankan pada bagaimana melakukan penanggalan hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam. Model studi hadis di Barat lebih banyak berupa kritik sejarah. Dalam bidang hadis, setidaknya ada tiga orang dari kalangan orientalis yang disebut sebagai tokoh kritik hadis. Mereka adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada dasarnya sama yaitu mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi. Akan tetapi, ada perbedaan sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher hanya sampai pada peringkat meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact sudah berhasil menyakinkan tidak ada otentisitas itu, khusus hadits-hadits fiqih.
Sanggahan-sanggahan pun dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Yaitu Joseph Schacht dengan teori Projecting Back nya dan Juynboll  dengan teori Common Link nya.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit  Hikmah (PT Mizan Publika), 2009
Azami, MM., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka firdaus), 2009
Darmalaksana, Wahyudin,  Hadist dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press) 2004
Said, Edward W. Orientalisme, (Bandung; Penerbit Pustaka) 2001

Sumbulah, Umi,  Kajian Kritik Ilmu hadis, (Malang: Uin Maliki Press) 2010
Yaqub, Ali Mustafa,  Kritik Hadis, (Jakarta; Pustaka Firdaus) 1996
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://munfarida.blogspot.co.id/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadist.html. diakses tanggal 10 Desember 2015




[1] Dr. Hj. Umi Sumbulah, Kajian Kritik Ilmu hadis, (Malang: Uin Maliki Press, 2010), h. 161
[2] Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung; Penerbit Pustaka, 2001), h. 2-3
[3] Op.Cit, h. 163
[4] Wahyudin Darmalaksana, Hadist dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h.55
[5] Ibid, h. 65
[6] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta; Amzah, 2006), h. 14-16
[7] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h.8
[8] Ibid, h. 9
[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadist dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h.81
[10] Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), 2009), h. 155
[11] Dr. Hj. Umi Sumbulah, Kajian Kritik Ilmu hadis, (Malang: Uin Maliki Press, 2010), h. 170
[12] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1996) h. 14
[13] Wahyudin Darmalaksana, Hadist dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), h. 97
[14] Dr. Hj. Umi Sumbulah, Kajian Kritik Ilmu hadis, (Malang: Uin Maliki Press, 2010), h. 170
[15] Ibid, h. 172
[16] Prof. Dr. MM. Azami, Hadis Nabi dan Sejarah dan Kodifikasinya (Pejaten Barat: Pustaka Firdaus), h. 563
[17] Ibid, h. 564
[18] Dr. Hj. Umi Sumbulah, Kajian Kritik Ilmu hadis, (Malang: Uin Maliki Press, 2010), h. 173
[19] Ibid, h. 174
[20] Ibid, h. 173-174
[21] Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://munfarida.blogspot.co.id/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadist.html. diakses tanggal 10 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku ; Yang Terlewatkan

  Tidak Mungkin dan Tidak Pernah Aku selalu melihatmu,Tapi kamu tidak. Aku selalu menatapmu,Tapi kamu tidak. Aku akan selalu ada untukm...