Perkembangan Model Kajian Hadis Di Barat
Mata Kuliah Qawaid Tahdis
Dosen Pengasuh:
Dr. Saifuddin, M. Ag
Dr. Dzikri Nirwana, M. Ag
OLEH :
AMELIA FITRIANI
NIM 1502521453
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap Alhamdulillah puji syukur
kehadirat Allah SWT, yang senantiasa selalu melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayahnya kepada kita semua. Shalawat dan salam atas junjungan jkita Nabi
besar Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat dan orang-orang yang mengikuti langkah
beliau hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaiakan makalah ini
yang berjudul “Perkembangan Kajian Hadis di Barat “.
Penyusunan makalah
ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dalam rangka memperbanyak ilmu
pengetahuan dan juga sebagai salah satu syarat yang wajib di penuhi. Penyusun
sepenuhnya sangat menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya di sebabkan keterbatasan pengetahuan penyusun oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai
pihak demi kesempurnaan makalah ini yang akan datang.
Dalam proses
penyelesaian makalah ini penyusun menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
Bapak Dr.
Saifuddin, M.Ag dan Dr. Dzikri Nirwana, M.Ag selaku dosen mata kuliah Qawa’id al-Tahdits.
Akhirnya penyusun
mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi diri
penyusun maupun bagi orang lain.
Banjarmasin, 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
|
………………………………………………………………
|
i
|
Kata
Pengantar
|
………………………………………………………………………
|
ii
|
Daftar isi
|
………………………………………………………………………
|
iii
|
BAB I
|
PENDAHULUAN…………………………………………………
|
1
|
BAB II
|
PEMBAHASAN ……………………………………………………
|
3
|
A. Orientalis dan Orientalisme ……………………........................
|
3
|
|
B. Sejarah Munculnya Orientalisme
……………………………….
|
4
|
|
C. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan
Orientalis ……………………
|
5
|
|
D. Teori dan Asumsi Orientalis Terhadap
Otentitas Hadis …………
|
7
|
|
E. Bantahan Ulama Terhadap Pandangan
Orientalis ......................
|
11
|
|
BAB III
|
PENUTUP
……………………………………………………...
|
14
|
A. Simpulan
………………………………………………………….
|
14
|
|
DAFTAR PUSTAKA
|
15
|
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian
keIslaman ternyata tidak hanya diminati oleh kalangan umat Islam itu sendiri
tetapi juga diminati oleh orang-orang diluar kalangan Islam khususnya oleh para
sarjana-sarjana Barat. Studi keIslaman
dikalangan umat Islam tujuan dan motifasinya berbeda dengan yang dilakukan oleh
orang-orang diluar kalangan Islam. Dikalangan umat Islam, studi keIslaman
bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar
dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan diluar kalangan
umat Islam, studi keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan
praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai
ilmu pengetahuan.
Pada mulanya kajian keislaman yang
dilakukan oleh para sarjana Barat hanya kepada bidang keilmuan yang bersifat
umum saja, namun seiring berjalannya waktu kajian tersebut mulai masuk kedalam
ranah kajian yang khusus termasuk di dalamnya adalah kajian tentang hadist, dimana
dalam Islam hadist menempati posisi
penting yang kedua sebagai sumber hukum Islam setelah al-qur’an.
Kajian atau studi mereka yang berasal dari Barat mengenai hadis
berbeda dengan studi di kalangan umat islam
pada umumnya, dimana kajian hadist lebih
ditekankan pada persoalan takhrij dan syarah hadis untuk menentukan
otentisitas dan kandungan makna dari hadist tersebut. Sedangkan di Barat, lebih
menekankan pada bagaimana melakukan penanggalan hadis untuk menaksir
historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa
yang terjadi pada masa awal Islam. Model studi hadis di Barat lebih banyak
berupa kritik sejarah. Dalam bidang hadis, setidaknya ada tiga orang dari
kalangan orientalis yang disebut sebagai tokoh kritik hadis. Mereka adalah
Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Dalam makalah ini akan dibahas kajian yang dilakukan orientalis
dalam bidang hadis meliputi apa itu orientalisme, bagaimana pandangan
tokoh-tokoh orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadis, dan bagaimana
bantahan ilmuan hadis terhadap pandangan tokoh-tokoh orientalis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Orientalis dan Orientalisme
Sebelum membahas kajian ilmuwan Barat (orientalis) terhadap hadis,
maka kita ketahui dulu apa itu orientalisme. Secara bahasa, istilah
orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur, dan kata ism
yang berarti paham. Jadi secara bahasa orientalisme adalah paham tentang
dunia timur atau ketimuran. Dalam kamus Webster
juga di jelaskan bahwa orientalisme berarti study of Estern culture
(kajian tentang kultur Timur), sedangkan orang
yang memiliki concern terhadap kultur Timur di sebut orientalis.[1]
Orientalis di definisikan sebagai segolongan sarjana Barat yang mendalami
bahasa dunia Timur dan kesusastraannya dan mereka yang menaruh perhatian besar
terhadap agama-agama dunia Timur, adat-istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
Sedangkan secara istilah, orientalisme merupakan salah satu
disiplin keilmuan yang termasuk dalam aliran pemikiran Pencerahan Eropa yang
mempelajari tentang ketimuran (agama, budaya, bahasa, seni, sastra, musik, dan
sebagainya) yang menekankan pada kajian filologis yang kritis yang tumbuh subur
di Barat pada abad 18-20.[2]
Edward Said dalam karya monumentalnya Orientalisme,
memberikan tiga pengertian dasar orientalisme. Pertama, orientalisme
diartikan sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai seseorang yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang budaya Timur. Kedua, merupakan sebuah gaya atau model pemikiran
yang berdasarkan ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya.
Ketiga, merupakan cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi dan
menguasai dunia Timur. [3]
Dengan demikian orientalisme yang dimaksud adalah
kajian akademis yang dilakukan ilmuwan Barat (orientalis) mengenai Islam dan
umat Islam dari seluruh aspeknya, dengan tujuan untuk membentuk opini umum
dalam hal tertentu, sebagai siasat menguasai dunia Timur Islam yang
mencerminkan pertentangan latar belakang ideology, historis dan kultur antara
Barat dan Timur.
Khusus berkaitan dengan Islam, pada awal
pertumbuhannya, kajian orientalis bersifat umum. Namun dalam perkembangannya,
kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahirlah berbagai kajian tentang
Islam seperti Al-qur’an, hadist, hukum, sejarah, dan sebagainya. Fokus kajian
Islam yang mereka tekankan adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu
al-qur’an dan hadist nabi.
B.
Sejarah Munculnya Orientalisme
Tidak ada keterangan yang jelas, kapan dan siapa sebenarnya orang
Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Sebagian peneliti menyatakan
kegiatan orientalis itu sendiri ada pada abad kesepuluh Masehi. Sebagian lain
berpendapat muncul setelah Perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara
1097-1295. Adapula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya pada
abad 13 di Andalusia, ketika serangan kaum Salib Spanyol terhadap Islam
mencapai puncaknya. Adapula yang menyatakan bahwa kajian ketimuran yang
kemudian dinamakan dengan orientalisme ini bersamaan dengan munculnya
imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia islam abad 17 Masehi, disaat
melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang di anggap sebagai garis pemisah
antara Eropaa dengan Negara-negara Timur. [4]
Namun diantara kemunculan orientalisme
disebabkan beberapa hal, yaitu: Pertama, terjadinya Perang Salib dan
Imperialisme atau kolonialisme. Kedua, sentuhan Barat dengan
perguruan-perguruan tinggi Islam. Ketiga, penyalinan naskah-naskah ke
dalam bahasa latin pada setiap bidang ilmu pengetahuan.[5]
Dalam kajiannya, orientalisme mempunyai karakter khusus yang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemahaman orientalisme itu
sendiri. Adapun karakteristik orientalisme adalah sebagai berikut:
a.
Orientalisme adalah suatu kajian yang
mempunyai ikatan sangat erat hubungannya dengan kolonial Barat. Khususnya
kolonial Inggris dan Perancis sejak akhir abad XIII hingga usainya perang dunia
kedua. Kalau ada kolonialisme, disitu ada orientalisme.
b.
Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai
ikatan yang kuat dengan gerakan kristenisasi. Antara lain untuk mempelajari dan
memahami secara mendalam masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai
sarana mengotori citra Islam, menumbuhkan perselisihan dan pertentangan di
kalangan sesama umat Islam serta menumbuhkan perasaan ragu terhadap ajaran
Islam dan berusaha keras memurtadkan umat Islam.
c.
Orientalisme merupakan kajian gabungan yang
mesra antara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah
dan objektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, terutama
dalam kajian Islam, yang dimulai dengan mengalihkan dan mengubah pandangan dari
metode Islam kepada metode pengetahuan Barat.
d.
Orientalisme merupakan bentuk kajian yang
dianggap potensial dalam politik dan dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum
muslimin.[6]
C.
Sejarah Kajian Hadis Di Kalangan Orientalis
Hadis dalam ajaran Islam menempati posisi yang
sangat penting karena merupakan sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam. Karena sangat sentralnya
keberadaan hadis Nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan
ulama-ulama hadits
untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadis yang diteliti dalam hubungannya
dengan kehujahan hadits yang bersangkutan, tidak terkecuali para orientalis.
Dari sekian banyak bidang kajian yang mereka garap, Hadis merupakan salah satu
bidang yang mereka kaji secara serius.
Tentang siapa orientalis yang pertama kali
mengadakan kajian di bidang ini, belum ditemukan kepastian sejarah. Dalam hal
ini para ahli berbeda pendapat. Menurut G.H.A. Joynboll, sarjana Barat yang
pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah Alois Spenger yang
kemudian diikuti oleh Sir William Muir dalam karyanya life of Mohamet.
Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis
adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M) melalui
karyanya yang berjudul Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang
berisi pandangannya tentang hadis.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, hal
yang perlu diketahui adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil menanamkan
keraguan terhadap otentitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah
yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai ”kitab suci” oleh para
orientalis sendiri.[7]
Kemudian kehadiran Joseph Schacht melalui
bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada
tahun 1950 dianggap sebagai ”kitab suci kedua” oleh para orientalis berikutnya
juga telah membawa dampak yang kuat terhadap terhadap sejumlah kajian hadis di
kalangan orientalis. Kedua orang inilah yang mempunyai peranan yang besar dalam
pengkajian hadis dikalangan orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya’kub,
untuk mengetahui kajian hadis dikalangan orientalis, cukup dengan hanya
menelusuri pendapat kedua tokoh ini, karena para orientalis sesudah mereka pada
umumnya hanya mengikuti pendapat keduanya.[8]
Ada beberapa faktor
yang mendorong hadist menjadi kajian para orientalis; Pertama, lebih
mudahnya usaha memburukkan islam melalui penyelidikkan hadis dibanding
penelitian terhadap Al-qur’an. Beberapa studi yang di buat secara serius, objektif,
dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis
untuk mendiskriditkan Islam. Kedua, banyaknya kontradiksi dalam materi corpus
hadis itu sendiri.[9]
Secara epistemologis, ada tiga hal yang sering dikemukakan dan dipaparkan orientalis
dalam pengkajian mereka terhadap hadis; Pertama, aspek kepribadian Nabi
Muhammad SAW, Kedua, aspek perawi atau sanad hadis, Ketiga, aspek
matan hadis.
D.
Teori dan Asumsi Orientalis terhadap Otentitas Hadis
Kajian atau studi hadist di kalangan sarjana Barat (orientalis)
berbeda dengan studi di kalangan umat islam
pada umumnya (Timur). Para sarjana muslim dalam penelitian hadist
menekankan pada bagaimana memverifikasi sebuah hadis untuk membedakan yang autentik
dari yang tidak autentik, berbeda bagi kalangan
orientalis, penekanan dalam kajian hadis di Barat adalah bagaimana melakukan
sebuah penanggalan (Dating) atas sebuah hadis untuk menilai
asal-usul atau sumbernya. Hal ini di sebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian
besar, kalau tidak semua, sarjana Barat percaya bahwa sangat sedikit, kalaupun
ada, hadis dapat di atributkan secara historis kepada Nabi.[10]
Untuk mengetahui kajian-kajian orientalis tentang Hadits, maka kita
telurusi kajian yang dilakukan kedua tokoh orientalis yaitu Ignaz Goldziher, Josepht Schacht dan y G. H.A Juynboll yang meragukan
keotentisitasan hadis.
1. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah seorang
orientalis kenamaan yang lahir di Hongaria pada tahun 1850. Orientalis yang merupakan keturunan dari keluarga Yahudi ini belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Disamping itu, dia juga belajar
islam ke Timur tengah yakni Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi
pada tahun 1873, Pelestina, dan sempat “nyantri” di Mesir untuk belajar ke sejumlah Syaikh di Al-Azhar
Kairo selama setahun 1873-1874. Sepulang dari Al-azhar, dia diangkat sebagai guru besar di Universitas
Budapest. Orientalis yang meninggal pada tahun1921 ini menulis banyak karya
ilmiah yang di publikasikan ke dalam bahasa Jerman, Inggris, Prancis, dan Arab.
Diantara karya monumentalnya Muhammadanische Studien, disebut sebagai
karya master peace yang menjadi rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat.[11]
Secara umum pandangan Ignaz Goldziher
terhadap hadits adalah bahwa apa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya
sebagai sabda Nabi SAW.[12] Keraguan
Goldziher tentang keabsahan dan keotentikan hadits didasarkan atas beberapa
alasan, diantaranya, ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam
pada abad pertama.[13] Goldziher menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi awal-awal
islam, tetapi hanya menjadi sumber yang sangat bernilai bagi dogma, konflik,
dan perhatian Muslim belakangan yang telah menyebarkan hadis. Pendapat ini
kemudian diperkuat sejumlah sarjana barat lainnya yang juga menolak hadis
sebagai sumber otentik bagi rekonstruksi sejarah Nabi dan sejarah perkembangan
awal Islam abad pertama hijriah, yakni John Wansbrough, Patricia Crone, dan
Michael Cook. [14]
2.
Joseph Schacht
Josepht Schahct adalah seorang orientalis yang lahir di Ratibor, Silisie
Jerman pada tanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan
belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa timur di universitas Berslaw
dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada
tahun 1923 ketika berumur 21 tahun dengan prediket summa cumlaude. Dia adalah
seorang ahli dan peneliti msalah ketimuran di Departemen Penerangan Inggris,
setelah menikahi gadis Inggris pada tahun 1939. Karya-karyanya antara lain
adalah: 1) The Origins of Muhammad Jurisprudence, an Introduction to Islamic
law, 2) Pre Islamic Background and Early Develompemnt of Jurisprudence. [15]
Pemikiran Josepht Schahct terhadap hadits banyak bertumpu pada
teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja
perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schacht
sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar dari sanad nabi adalah palsu, dan dia
berhasil “menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits
fiqih. Menurutnya semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam
bentuk yang sangat sederhana kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada
paruh kedua abad ketiga Hijriyah.[16] Schacht menyatakan bahwa sanad merupakan hasil
rekayasa para ulama abad kedua Hijriyah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada
tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada nabi untuk mencari
legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut. [17]
Pemikiran Josepht Schacht tentang hadis adalah bingkai pemikirannya
tentang pembentukkan hukum Islam. Asumsi-asumsi Schacht tentang hukum islam
adalah; Pertama, hukum islam bukanlah seperangkat norma yang
diwahyukan, melainkan sebagai fenomena historis yang memiliki kaitan yang
demikian erat dengan realitas sosial. Kedua, jika hukum islam
merupakan realitas historis, maka sumbernya (baca: hadis) juga merupakan akibat
dari proses perkembangan historis. Ketiga, adopsi tradisi
non-Islam semakin berkembang ketika territorial islam mencapai wilayah diluar
jazirah Arab, sejak era khalifah Rasyidah dan era Umayyah. Keempat,
pengangkatan hakim-hakim era Umayyah di tengarai mendorong upaya penyandaran
keputusan berdasarkan landasan-landasan yang lebih otoritatif, yakni sunnah
dari Nabi. Kelima, munculnya kelompok ahli hadis ternyata justru
menjadi justifikasi bagi berkembangnya aliran fiqih yang disandarkan kepada
generasi masa lalu dan dari sinilah timbulnya teori “Projecting Back”[18]
Teori ini mengandaikan bahwa sanad yang pada mulanya lahir dalam
pemakaian yang sederhana dikembangkan dan di proyeksikan ke belakang sedemikian
rupa sehingga terjadi pengadaan sanad pada generasi awal/tua dengan tujuan agar
berita tertentu memiliki kekuatan yang otoritatif. Dengan demikian, hadis tidak
turut (bersama Al-qur’an membentuk hukum Islam) karena hadis tidak berasal dari
Nabi tetapi di buat pada abad ke-2 H. [19]
Berdasarkan pemahaman seperti inilah maka Schacht berkesimpulan bahwa
baik kelompok fiqih klasik maupun ahli hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh
karenanya tidak ada hadis yang benar-benar berasal dari Nabi tetapi merupakan
produk yang lahir dari persaingan antar ulama.
3. G. H.A Juynboll
Tokoh Orientalis yang bernama lengkap Gautier H.A Juynboll ini lahir di Leiden, Belanda tahun 1935.
Kepakarannya dalam bidang sejarah perkembangan awal hadis dapat di sejajarkan
dengan james Robson, Fazlul Rahman, MM Azami dan Michael Cook. Dia adalah
seorang peneliti dan daily visitor di perpustakaan Universitas Leiden untuk
meneliti hadis, serta pengajar di berbagai Universitas di Belanda. Di antara
karya-karyanya adalah; 1) Concordance et indices de la Tradition
Musulmane (kamus hadis th 60-an), 2) On the Origins of Arabic Prose (1974), 3)
the authenticity of the tradition Literature: Discussion in Modern Egypt.
Teorinya yang terkenal adalah Common Link yang sebenarnya merupakan
pengembangan dan elaborasi dari gagasan Josepht Schacht. Teori ini dibangun
berdasarkan asumsi:
a. Semakin banyak jalur
periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya
maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim
sejarah.
b. Periwayat yang di
anggap sebagai Common Link (CL) bertanggung jawab atas jalur tunggal yang
kembali kepada otoritas tertua, sahabat, atau nabi, berikut perkembangan teks
yang terjadi di dalamnya,
c. Posisi Common Link
sebagai origator (pencetus) atau fabricator (pemalsu) isnad dan matan
hadis yang kemudian di sebarkan kepada sejumlah muridnya.
Adapun cara kerja dari teori Common Link adalah:
a. Menentukan hadis
yang akan di teliti
b. Meneliti hadis dalam
berbagai koleksi hadis
c. Menghimpun seluruh
isnad hadis
d. Menyusun dan
merekonstruksikan seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad (pohon sanad)
e. Mendeteksi periwayat
yang dinilai paling bertanggung jawab atas penyebaran hadis.
Berdasarkan teori yang dikembangkannya itu pula, Juynboll berkesimpulan
bahwa hadis-hadis yang termuat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
belum tentu hadis itu otentik dan memiliki klaim kesejarahan yang pasti. Bahkan
dia menyatakan dalam salah satu karyanya bahwa tidak ada satupun metode yang
layak di pegang dan digunakan untuk menentukan secara pasti apakah suatu hadis
itu otentik atau tidak.[20]
E. Bantahan Ulama terhadap Pandangan Orientalis
1.
Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat
Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada
masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka
itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi
at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin)
dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature).
Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya
maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka
(kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia
Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan
pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in
Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot
menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase:
pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga,
pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri
dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.
2. Bantahan
untuk Josep Schacht
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia
keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai
dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy
serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis
eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis
Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Teori Projecting Back nya Schacht yang mengemukakan
bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasi
pendapat para hakim dalam menetapkan suatu hukum masih dipertanyakan
keabsahannya, hal ini dibantah oleh azami dengan penelitiannya bahwa sanad
hadis memang muttasil sampai kepada Rasulullah Saw melalui jalur-jalur yang
disebutkan diatas. Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para
generasi terdahulu tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari
rasulullah Saw sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3. Bantahan
untuk G.H.A Juynboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para
sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang
menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut
dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung
manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang
dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu
dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat
seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis
pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus
hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan
hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara
infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada
kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika
seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam
mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar
penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap
oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau
artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya
sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih
akurat. [21]
BAB III
KESIMPULAN
Pada mulanya kajian keislaman yang
dilakukan oleh para sarjana Barat hanya kepada bidang keilmuan yang bersifat
umum saja, namun seiring berjalannya waktu kajian tersebut mulai masuk kedalam
ranah kajian yang khusus termasuk di dalamnya adalah kajian tentang hadist,
dimana dalam Islam hadist menempati
posisi penting yang kedua sebagai sumber hukum Islam setelah al-qur’an.
Kajian atau studi mereka yang berasal dari Barat mengenai hadis
berbeda dengan studi di kalangan umat islam
pada umumnya, dimana kajian hadist lebih
ditekankan pada persoalan takhrij dan syarah hadis untuk menentukan
otentisitas dan kandungan makna dari hadist tersebut. Sedangkan di Barat, lebih
menekankan pada bagaimana melakukan penanggalan hadis untuk menaksir
historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa
yang terjadi pada masa awal Islam. Model studi hadis di Barat lebih banyak
berupa kritik sejarah. Dalam bidang hadis, setidaknya ada tiga orang dari
kalangan orientalis yang disebut sebagai tokoh kritik hadis. Mereka adalah
Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.
Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada dasarnya sama yaitu
mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi. Akan tetapi, ada
perbedaan sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher hanya sampai pada
peringkat meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact sudah berhasil menyakinkan
tidak ada otentisitas itu, khusus hadits-hadits fiqih.
Sanggahan-sanggahan
pun dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Yaitu
Joseph Schacht dengan teori Projecting Back nya dan Juynboll dengan teori Common Link nya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta:
Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), 2009
Azami, MM., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
(Jakarta: Pustaka firdaus), 2009
Darmalaksana,
Wahyudin, Hadist dimata Orientalis,
(Bandung: Benang Merah Press) 2004
Said, Edward W. Orientalisme, (Bandung; Penerbit Pustaka)
2001
Sumbulah,
Umi, Kajian Kritik Ilmu hadis,
(Malang: Uin Maliki Press) 2010
Yaqub, Ali
Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta;
Pustaka Firdaus) 1996
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana
Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://munfarida.blogspot.co.id/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadist.html. diakses tanggal 10 Desember 2015
[4]
Wahyudin Darmalaksana, Hadist dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah
Press, 2004), h.55
[6]
Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta; Amzah, 2006),
h. 14-16
[10] Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A, Menguji Kembali Keakuratan
Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), 2009),
h. 155
[16]
Prof. Dr. MM. Azami, Hadis Nabi dan Sejarah dan Kodifikasinya (Pejaten
Barat: Pustaka Firdaus), h. 563
[17] Ibid,
h. 564
[20] Ibid,
h. 173-174
[21] Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim
Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://munfarida.blogspot.co.id/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadist.html. diakses tanggal 10 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar